Kamis, 30 Juni 2011

just love me!

manga ini adalah hasil karya dari shiiba nana. akhir-akhir ini q suka dengan manga-manga hasil karyanya. ceritanya nggak biasa. kebanyakan sih membahas tentang percintaan antara guru dan murid ataupun percintaan remaja lainnya. nah kali ini yang ngebikin manga ini berbeda adalah jalan ceritanya dan tema yang diusung sedikit berbeda dari hasil karya shiiba nana yang lainnya. manga ini mengusung tema yakuza....dan dikemas dalam kisah percintaan.
manga ini terdiri dari cerita utama yang terbagi menjadi 2, yaitu just love me! dan just go!
serta 2 cerita tambahan, yaitu fantasy lollipop dan baby, let's dance
manga ini menceritakan tentang seorang gadis bernama chisa. dia berpacaran dengan rio cowok idaman disekolahnya. tampan, baik hati, lembut dan penyayang. tanpa chisa ketahui, rio menyimpan suatu rahasia yang sangat besar.
sepulang sekolah seperti biasa chisa berjalan pulang kerumah ditemani rio. rio meminjamkan buku catatannya pada chisa dan berlalu, pulang. ternyata rio meninggalkan lembaran tugasnya didalam buku catatan. chisa pun segera mengejar rio sampai kedepan rumah rio. spontan chisa langsung memeluk rio dari belakang. tanpa disangka-sangka pintu rumah rio terbuka. tampak beberapa pria berwajah menyeramkan membungkuk memberi hormat pada rio. saat itulah chisa mengetahui rahasia yang disembunyikan rio. 
rio adalah putra dari seorang ketua geng yakuza. kedua orangtuanya berusaha melatih rio menjadi seorang yakuza sejati, tapi nampaknya rio tidak tertarik.
walaupun terkejut, chisa membulatkan tekadnya untuk mencintai rio, apapun yang terjadi.
perjalanan cinta mereka berdua tidak berjalan mulus. karena ada beberapa pihak yang bermaksud memisahkan mereka berdua. anehnya, disaat nyawa chiisa terancam. seperti kesurupan, rio yang lembut dan lemah berubah menjadi bengis dan kuat mengalahkan lawannya tanpa ampun demi melindungi chisa. yang bisa menyadarkan rio kembali adalah ciuman dari chisa.
wkwkwk, ceritanya seru kan. bener2 ga biasa. beda dari manga karya shiiba nana yang lainnya.

yakusoku (promise..) part 7


7.  Aku dan Kame

Perkenalkan..namaku Yuki, dan ini adalah kisah hidupku...............
            Aku tinggal seorang diri disebuah rumah ditengah hutan Mountdew. Kedua orangtuaku telah lama meninggal. Bertahun-tahun aku selalu merasa kesepian.
            Pagi itu seperti biasanya......Aku berbaring ditengah padang rumput disebelah rumahku. Kupejamkan mataku. Kubiarkan embun pagi direrumputan membasahi rambutku. Angin yang berhembus sepoi-sepoi membelai lembut wajahku. Anehnya pagi ini aku tidak mendengar suara burung-burung yang berkicau menyambut hangatnya matahari pagi. Sepi_terlalu sepi....
            Aku berdiri..kubenahi gaunku yang kusut dan sedikit basah terkena embun pagi. Kuikat rambutku yang panjang diatas tengkukku. Kutolehkan kepalaku kekiri dan kekanan, waspada_penuh curiga melihat keadaan disekitarku.
            Dikejauhan aku melihat sesosok bayangan, duduk bersandar dibawah pohon.
            Penasaran_aku perlahan-lahan berjalan menghampirinya. Aku berusaha berjingkat-jingkat meredam suara langkah kakiku.
            Aku berdiri beberapa meter dari sosok bayangan itu. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas_tertutup oleh bayangan pohon. Rupanya dia seorang pemuda. Tubuhnya tergolek lemah_terluka. Noda merah terlihat kontras dikulitnya yang putih pucat.
            Kuberanikan diri mendekatinya.
            Dia memalingkan wajahnya padaku. Sekilas menatapku lalu menunduk, mengabaikan kehadiranku.
            Jantungku berdebar kencang..saat dia menatapku, aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dia sangat tampan_terlalu sempurna. Seperti seorang malaikat yang turun dari langit, malaikat yang terluka. Bajunya yang hitam membuat kulitnya yang putih terlihat semakin pucat.
            Aku duduk bersimpuh disebelahnya.
            “Kau terluka....”, kataku lirih.
            Dia memalingkan wajahnya, menatapku untuk kedua kalinya dan berhasil membuat jantungku semakin berdebar-debar.
            “Apa...?? Luka..?? Ini sih masalah sepele”, katanya dingin.
            Suaranya terdengar sangat merdu ditelingaku, bagai sebuah candu yang memabukkan. Aku ingin mendengar suara itu lagi dan lagi.
            Aku terdiam_terpesona mendengar suaranya.
            Pemuda itu menahan sakit, mengangkat tangan kanannya. Telapak tangan kanannya menyentuh luka ditubuhnya. Dari bawah telapak tangannya itu samar-samar aku bisa melihat seberkas cahaya putih berpendar lemah. Semakin lama cahaya itu bersinar semakin kuat_menyilaukan mata.
            Kupicingkan mataku, berusaha melihat apa yang sedang terjadi.
            Luka ditubuh pemuda itu perlahan-lahan mulai menutup dan menghilang tanpa bekas. Seakan-akan luka itu tidak pernah ada.
            Aku terkejut..Aneh, seharusnya aku merasa takut_tapi kenapa aku malah semakin terpesona padanya.
            “Tuh kan....apa kataku...ini sih masalah sepele”, kata pemuda itu, membanggakan dirinya sendiri.
            Aku masih memandanginya dengan takjub.
            Pemuda itu balik menatapku dengan heran.
            “Hei...kau gadis yang aneh”, katanya sambil menatapku dengan penuh selidik. “Seharusnya kau takut melihatku”, tambahnya padaku. “Seharusnya sebagai orang yang normal kau lari ketakutan saat melihatku”, dia mengulangi kata-katanya yang tadi seolah-olah menekankan padaku_seharusnya aku merasa ketakutan melihatnya.
            Aku tersenyum padanya. Senyum termanis yang bisa aku berikan.
            “Kau tidak takut padaku?”, pemuda itu berdiri disampingku.
            Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum lagi padanya.
            “Walaupun ku katakan padamu kalau aku adalah seorang demon?”, tanyanya tak percaya pada jawabanku.
            Aku terkejut mendengar pengakuannya. Mana mungkin pemuda setampan ini, sesempurna ini adalah seorang demon. Sebagian dari diriku mulai merasa takut, hati kecilku menjerit supaya aku pergi menjauhinya. Sebagian dari diriku yang lainnya berusaha menenangkanku, mendorongku untuk tetap tinggal bersamanya.
            Bingung.....apa yang harus kulakukan.
            Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. “Tenang Yuki...tenang...”, berusaha menenangkan diriku sendiri. “Walaupun dia demon, dia terlihat cukup baik. Kalau dia berniat jahat padamu, dengan mudah dia sudah menyerangmu dari tadi”.
            Aku tersenyum lagi padanya.
            “Aku tidak takut padamu.....kurasa....”, kataku lirih setengah berbisik_masih tidak percaya dengan jawabanku sendiri.
            “Bodoh kau Yuki!! Seharusnya kau bisa menjauhinya tapi sekarang kau tidak bisa lari menghindarinya. Kau harus menghadapinya. Kau tanggung resikomu sendiri”, jerit hati kecilku.
            Pemuda itu masih menatapku tidak percaya. Senyuman mulai terukir diwajahnya yang tampan. “Ha.....Ha......Ha......menarik.....sangat menarik!”, tawanya sangat keras dan lepas.
            Apa yang lucu dari jawabanku tadi....aku merasa bingung. Kenapa dia menertawakanku seperti itu.
            Dia mencondongkan badannya mendekatiku, dengan satu gerakan yang anggun dan gesit mengangkat tangan kanannya kearahku.
            Refleks_aku langsung memejamkan mataku.
            Dia membelai kepalaku dengan lembut.
            Aku dapat merasakan tangannya yang dingin, sedingin es menyentuh kepalaku.
            “Hmm....kau benar-benar gadis yang sangat menarik”, gumamnya. “Aku mulai menyukaimu”, katanya padaku. “Kau satu-satunya orang yang tidak takut melihatku, Kame salah satu dari demon yang terkuat didunia ini”, katanya sombong.
            Aku membuka kedua mataku, terkejut_entah kenapa juga merasa senang mendengar pernyataannya padaku. Aku ragu_apakah dia sedang mempermainkan perasaanku.
            Itulah pertemuan pertamaku dengan Kame, seorang demon. Sejak saat itu sedikit demi sedikit aku mulai mengenal Kame. Dia sering tiba-tiba datang mengunjungiku kemudian pergi menghilang meninggalkanku seorang diri.
            Pada awalnya, setelah kejadian itu sering terbersit dipikiranku apakah yang kulakukan ini benar atau salah. Aku....Yuki...seorang gadis biasa, yang menjalani hidupnya yang membosankan tiba-tiba berteman dengan seorang demon. Tapi segera kutepis keraguan itu. Aku tidak pernah mengeluh. Mungkin memang takdirku bertemu dengannya. Toh aku tidak pernah memandangnya sebagai seorang demon. Dibalik sikapnya yang acuh tak acuh padaku, kata-katanya yang agak ketus, dia bersikap sangat baik padaku.
            Mungkin aku egois_selama ini aku merasa kesepian. Aku butuh seorang teman untuk berbagi. Aku tidak peduli dia manusia atau pun demon, asalkan dia ada disisiku aku merasa puas.
            Mungkin dia juga merasakan hal yang sama padaku. Sebagai seorang demon yang ditakuti oleh sesamanya dan juga ditakuti oleh manusia, dia pasti juga merasa kesepian.
            Tanpa terasa_waktu cepat berlalu.
            Aku lupa_sejak kapan, tapi sekarang Kame selalu menemaniku. Dia jarang meninggalkanku sendirian. Sikapnya padaku pun telah berubah. Sekarang dia selalu bersikap lembut padaku, selalu melindungiku.
            Kini aku mencintainya dan aku yakin dia juga mencintaiku.
            Kami berjanji selalu bersama_tak terpisahkan.
            Aku sering memikirkan hal ini berkali-kali, bagaimana jika nanti aku mati. Bagaimanapun juga aku hanya manusia biasa. Hidupku sangat rapuh. Sementara Kame adalah seorang demon yang hidup abadi selamanya. Aku tak sanggup membayangkan Kame dalam kesendiriannya setelah kepergianku. Itu sangat menyakitkan.
            Kame menenangkanku..dia berjanji akan selalu mencintaiku, akan selalu menungguku walaupun aku harus mati dan bereinkarnasi berulang-ulang.
            “Bagaimana kalau aku mati? Aku takut....”, tanyaku lirih.
            “Aku akan selalu mencintaimu dan menunggumu dilahirkan kembali. Aku pasti akan selalu menemukanmu dimanapun kau berada”, Kame memelukku erat.
            “Bagaimana kalau aku melupakanmu?”, tanyaku ragu.
            “Aku akan membuatmu mencintaiku lagi bila itu yang engkau inginkan”, Kame menatapku lembut.
            “Aku ingin engkau selalu disisiku....aku ingin engkau selalu mencintaiku....aku ingin selalu mencintaimu....ah...aku memang egois”, aku terisak dipelukannya.
            “Kalau memang itu yang kau inginkan, Yuki....aku akan selalu ada disisimu, aku janji”, bisik Kame ditelingaku, menenangkanku yang mulai menangis.
            Aku ingin selalu bersamanya.....tapi sayangnya aku harus berpisah dengannya.
            Banyak demon yang mengincar Kame_beredar rumor didunia Underworld, demon yang meminum darah Kame akan mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Demon-demon itu selalu menggunakanku sebagai sasaran untuk melemahkan pertahanan Kame.
            Kame selalu berhasil melindungiku dan aku percaya padanya.
            Berbulan-bulan kami bertahan, melawan serangan para demon yang datang bertubi-tubi tanpa henti.
            Saat itulah Kame memutuskan untuk menyegel kekuatannya, menghilang dari dunia ini_meninggalkanku.
            “Aku tidak mau melihatmu terluka lagi”, suaranya sedikit tercekat saat mengatakannya padaku.
            Aku tahu dia ingin melindungiku, aku tahu dia tidak ingin melukaiku.
            Memikirkannya meninggalkanku_aku tidak sanggup. Lebih baik tubuhku terluka ratusan kali_aku bisa bertahan. Tapi bila harus kehilangannya_aku tidak sanggup menahan perih dihatiku.
            Keputusannya sudah bulat. Tidak ada sesuatu didunia ini yang bisa mengubah tekadnya.
            Aku merasa sedih_pasrah. Mungkin ini memang takdirku. Aku hanya bisa berharap dikehidupanku yang lain dapat bertemu lagi dengannya.
            Dipadang rumput inilah aku berjumpa dengannya dan dipadang rumput ini pula aku harus berpisah dengannya.
            Aku berdiri terdiam ditengah pada rumput ini. Mataku panas, air mataku mulai menetes membasahi pipi. Kuseka pipiku yang basah dengan tanganku. Aku tidak ingin terlihat sedih didepannya. Aku ingin melepas kepergiannya dengan senyuman.
            “Yuki.....Yuki....”, Kame memanggil-manggil namaku. Suaranya terdengar sangat merdu. Aku mulai merasa merindukan suara itu.
            Aku berlari menghampirinya
            Dia berdiri ditengah padang rumput. Kedua tangannya terentang. Wajahnya mendongak keatas menatap langit yang biru. Kulit putihnya yang pucat terlihat bercahaya terkena sinar matahari. Kedua matanya terpejam, menikmati hangatnya sinar matahari untuk terakhir kali.
            Mendengar langkah kakiku, dia membuka kedua matanya. Matanya yang merah menatapku penuh cinta.
Dalam sekejap dia sudah berada didepanku dan memelukku. Meminta maaf padaku dan mengatakan kalau dia sangat mencintaiku.
Pertahananku mulai runtuh. Aku tidak dapat lagi menahan rasa sedih ini. Air mataku mengalir membasahi pipiku tanpa henti.
Setelah memeluk dan menciumku, dia berlutut didepanku_dengan lembut dipegangnya telapak tangan kiriku. Dia menyematkan sebuah cincin dijari manisku dan mengecupnya.
Dia menatapku, memandangi wajahku, seakan-akan sedang menyimpan rapat-rapat semua kenangan yang telah kita lalui bersama. Mengucapkan kata perpisahan dan perlahan-lahan menghilang_berubah menjadi butiran-butiran cahaya.
Aku terduduk lemas....aku menangis....
Butiran-butiran cahaya itu terus berkumpul menjadi satu cahaya putih yang terang, melayang-layang mengitariku dan menghilang seakan-akan masuk kedalam cincinku.
Aku yakin Kame berada didalam cincinku dan selalu menemaniku dimanapun aku berada. Aku menjaga cincin ini sepenuh hatiku. Berharap suatu saat Kame akan keluar dan menemuiku dari dalam cincin ini.
Dengan menghilangnya Kame, serangan dari para demon pun berakhir. Kini aku meneruskan hidupku dalam kesendirian lagi...Aku hampir lupa bagaimana rasanya sendiri sejak kehadiran Kame disisiku. Aku harus bertahan dan berusaha, aku tidak ingin pengorbanan Kame sia-sia. Aku harus hidup.....!!
“Kame.......Kame........aku mencintaimu!”.

yakusoku (promise..) part 6


6.  Investigasi

Aku terbangun dari tidurku. Mataku terasa lengket_susah untuk dibuka. Seluruh tubuhku terasa sakit, aku yakin ini pasti karena tidurku yang tidak nyenyak semalam. Malas_kuraih jam weker dimeja sebelah ranjangku.
            Aku kesiangan_lagi.
            Terburu-buru kubuka selimutku. Kubiarkan teronggok diujung ranjangku. Aku mencoba untuk berdiri. Kepalaku terasa sakit. Kupaksa diriku berjalan menuju kamar mandi. Wajahku dicermin benar-benar kacau. Mataku memerah dan ada lingkaran hitam disekitarnya, tanda kurang tidur.
            Kunyalakan keran diwashtafel, segera kubasuh wajahku. Dinginnya air menusuk kulitku. Kuraih sikat gigi disebelah kananku. Cepat-cepat kugosok gigiku_sampai gusiku terluka. Darah merah mengalir saat aku berkumur di washtafel. Aku merapikan rambutku yang berantakan dengan jari-jari tanganku. Memakai seragamku sambil berusaha memasukkan beberapa buku yang berserakan dimeja kedalam tasku. Mencari-cari pasangan kaos kaki ku selama beberapa menit dan menemukannya diantara tumpukan baju kotorku. Memakai sepatuku. Bergegas menuju keruang kelas_melewatkan sarapan.
            Aku berlari disepanjang lorong dan terus berlari menaiki tangga menuju kelas.
            Aku berhasil memasuki kelas dan duduk sambil terengah-engah kehabisan nafas beberapa menit sebelum pak guru masuk kedalam kelas.
            Nakamaru dan Junnosuke terus menatapku yang sedang berusaha menenangkan diri, kemudian mereka saling menatap satu sama yang lain. Aku yakin mereka pasti akan memberondongiku dengan berbagai macam pertanyaan waktu istirahat nanti. Saat ini aku harus melupakan masalah itu dulu, sekarang aku harus berkonsentrasi untuk mendengarkan penjelasan dari pak guru.
            Aku mengumpat dalam hati_susah untuk berkonsentrasi. Apa yang dikatakan pak guru seperti bahasa dari planet lain yang masuk ketelinga kanan dan keluar dari telinga kiriku. Junnosuke juga terus mengganggu konsentrasiku. Dibelakangku dia beberapa kali menyodok punggungku dengan pensilnya. Mungkin hal ini dianggapnya lucu.
            Aku melirik ke Nakamaru disebelahku. Wajahnya terlihat mencemaskanku. Cemberut_sesekali dia melihat kearah Junnosuke, berusaha memberi tanda supaya berhenti menggangguku. Junnosuke tetap menggangguku_mengabaikan Nakamaru. Aku bisa mendengar Nakamaru mendengus lumayan keras.
            Akhirnya bel berbunyi. Dua jam pelajaran yang terasa panjang dan melelahkan bagiku. Malas-malasan ku rapikan buku-bukuku. Kutolehkan wajahku ke arah Nakamaru. Dia telah merapikan semua bukunya_menungguku untuk bergegas meninggalkan kelas. Aku menoleh kebelakang, sambil nyengir jahil Junnosuke bersiap-siap menggodaku lagi.
            “Sudahlah Junno, biarkan Jin membereskan bukunya dulu”, Nakamaru membelaku. “Kita bisa telat nih dikelas berikutnya”, katanya pada Junnosuke sambil cemberut.
            “Oke...oke...jangan marah...”, Junnosuke nyengir jahil. “Jin saja diam, kok malah kau yang marah sih?”, goda Junnosuke dengan gaya merajuk sambil melirik kepadaku.
            “Aku sudah selesai...Yuk kita pindah kelas”, aku berdiri_menyelempangkan tasku dan memandang kearah Nakamaru. Aku berjalan kearah pintu_berhenti dan memandangnya lagi.
“Ayo......”, ajakku.
            Nakamaru segera bangkit_berdiri dan bergegas menyusulku, meninggalkan Junnosuke dibelakangnya.
“Hei...aku jangan ditinggal. Kau tega banget sih, Jin”, Junnosuke berlari menyusulku dan Nakamaru.
            Sepanjang jalan Junnosuke terus merajuk karena aku dan Nakamaru meninggalkannya.
            Nakamaru terlihat kesal dengan ulah Junnosuke. Dia berusaha untuk tetap diam, mengabaikan Junnosuke yang terus mengganggu.
            Hal ini terus berlanjut sampai jam istirahat makan siang. Aku dan Nakamaru kompak mengacuhkan Junnosuke.
            Kesal omongannya tidak ditanggapi, Junnosuke pada akhirnya meminta maaf. “Oke....aku mengaku salah, maaf!! Please jangan cuekin aku lagi”, mukanya memerah menahan kesal.
            Aku dan Nakamaru saling berpandangan dan tertawa keras. Saking kerasnya sampai seisi kantin melihat kearah kita. Junnosuke melongo melihat kita berdua, lalu ikut tertawa. “Berarti sekarang kalian sudah tidak marah lagi kan?”, tanyanya sambil tertawa.
            “Hmm....sebentar....kupikirkan dulu...”, godaku_berpura-pura terlihat serius.
            “Hei.......!”, sergah Junnosuke. Mulutnya mengerucut, pipinya digembungkan, cemberut. Mukanya terlihat lucu sekali.
            “Kita bercanda kok.....”, Nakamaru menepuk punggung Junnosuke sambil menghabiskan sandwichnya.
            Aku segera melahap makan siangku. Sepiring nasi kare, dua iris roti, semangkuk puding melon dan sebuah pisang. Aku kelaparan. Tadi pagikan aku tidak sempat sarapan. Kami bertiga terdiam beberapa saat. Sibuk menghabiskan makan siang.
            Kantin semakin bertambah ramai. Terdengar beberapa siswa ngobrol dengan suara keras_membahas tentang siswa yang menghilang. Siswa lain yang tertarik segera bergabung dengan obrolan mereka. Dalam sekejap seluruh kantin membahas hal yang sama, kasus hilangnya Mark.
            Penuh semangat, Junnosuke menanggapi obrolan tersebut. Berdiri_mengepalkan kedua tangannya, berteriak “Yosh...teman-teman, serahkan kasus ini padaku. Klub majalah sekolah akan berusaha menyelidikinya. Jadi aku mohon bantuan dari kalian semua”.
            Seisi kantin bersorak sorai menyemangati Junnosuke, suasana semakin riuh. Junnosuke tersenyum puas melihat reaksi dari siswa yang lain. Aku dan Nakamaru bengong dan terduduk lemas. Aku mulai merasakan firasat buruk nih. Pasti ujung-ujungnya Junno memaksaku dan Maru untuk membantunya menyelidiki kasus ini. Aku sendiri yang bakalan kerepotan.
            Melihat ekspresi mukaku dan Maru, Junno berusaha menyemangati kami berdua,”Haduh jangan bengong gitu donk...Ayolah....kita pasti bisa kok. Percaya deh dengan kemampuanku mencari informasi. Kalau kita bersatu pasti kita bisa memecahkan kasus ini”.
            Aku diam.
            Nakamaru juga diam.
            Tidak ada respon dari kita.”Kalian sudah lupa ya? Kan kalian janji mau menolongku”, Junnosuke mengedipkan mata kirinya,
            Nakamaru melihatku, meminta dukungan menolak keinginan Junnosuke.
            Aku menghela nafas. “Huft...iya..iya...janji ya janji”.
            Nakamaru melotot protes kepadaku. Beberapa detik kemudian mukanya terlihat pasrah. “Yah....apa boleh buat, aku juga terlanjur janji”, katanya dengan malas-malasan.
            “Janji lo ya, kalau keadaannya terlalu berbahaya, kita harus melaporkan hal ini pada guru atau kepala sekolah. Oke??”, Nakamaru setengah memaksa dengan nada suara yang agak tinggi.
            “Oke...oke...”, Junnosuke mengacungkan jempol tangan kanannya tanda setuju.
            “Baiklah, sekarang saatnya kita menyusun rencana”, kataku sambil memberi tanda untuk mendekat.
            Kamipun menyusun rencana bersama-sama. Aku bertugas mengumpulkan informasi dari murid yang lain, Junnosuke mencari informasi dari para guru dan petugas sekolah, sementara Nakamaru yang mengolah data.
            Setelah pelajaran terakhir selesai, kami berpencar melaksanakan tugas masing-masing_berjanji bertemu dikantin pada saat makan malam.
            Aku memulai tugasku dengan menghampiri siswa kelas 1 yang duduk bergerombol dibangku taman. Sayangnya mereka tidak banyak memberi informasi.
            Aku berjalan melalui taman menuju ruang olahraga.
            Terlihat beberapa anak masih berenang dan sebagian lagi ngobrol sambil duduk dipinggir kolam renang. Aku mendekati mereka_berusaha mencari informasi tentang Mark dan bagaimana dia menghilang. Bukannya menurut teman-temannya, sebelum Mark menghilang dia terakhir terlihat dikolam renang. Aku berharap kali ini bisa mendapatkan informasi yang cukup. Terus terang, sebenarnya aku malas harus mondar-mandir mengumpulkan informasi seperti ini.
            Menurut kesaksian teman-temannya, jam lima sore Mark masih terlihat asik berenang dan saat itu teman-temannya satu persatu mulai meninggalkan Mark sendirian. Setelah itu mereka tidak tahu apa yang terjadi padanya.
            Aku mendekati sekumpulan anak yang lain, mereka sedang bermain-main dipojok kolam renang.
            Mereka menghentikan permainannya saat melihatku mendekat. Tampaknya mereka tertarik dan penasaran dengan apa yang kulakukan, kemudian berbisik-bisik satu sama yang lainnya.
            Rupanya aku tidak perlu banyak tanya. Saat kusebut nama Mark, penuh semangat mereka langsung menceritakan semua yang mereka tahu. Yah walaupun sebenarnya kebanyakan ceritanya tentang mereka sendiri, tentang apa saja yang mereka lakukan pada saat Mark menghilang. Mereka bercerita dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku sampai harus mengatur mereka dan menyuruh mereka bercerita secara bergantian. Tidak lupa aku mencatatnya di notebook ku. Aku harus membuat laporan untuk Nakamaru, agar dia bisa mengolah data yang telah aku dan Junnosuke kumpulkan.
            Akhirnya dari informasi yang kuperoleh, dapat disimpulkan di hari saat Mark menghilang, dia tidak terlihat melewati asrama guru. Seharusnya untuk menuju ke asrama dari ruang olahraga dia harus berjalan sedikit memutar melewati asrama guru. Tapi karena dia tidak terlihat disana berarti Mark memilih untuk berjalan melewati taman.
            Tanpa sadar aku mulai menyusuri jejak Mark. Aku berjalan dari ruang olahraga ke arah taman yang mulai sepi. Masih terlihat beberapa anak yang duduk dibangku taman dan berjalan lalu lalang melintasi taman.
            Dari dulu aku tidak suka taman ini. Apalagi disore hari dimana kabut semakin tebal, udara dingin mulai menusuk tulang, sinar matahari mulai menghilang. Aku benci suasana ini. Lampu taman yang temaram, sama sekali tidak membantu menerangi taman.
            Aku segera bergegas melangkah menuju gedung sekolah. Aku tidak mau berada diluar sendirian saat matahari mulai tenggelam. “Jam berapa sekarang?”, tanyaku pada diriku sendiri sambil melihat jam dipergelangan tanganku. Aku melotot tidak percaya.”Gawat, sekarang sudah jam setengah enam”, teriakku dalam hati.
            Tersadar setelah melihat sekelilingku_aku sendirian. Jantungku berdetak kencang melewati gedung sekolah. Aku bisa mendengar langkah kakiku bergema disepanjang koridor kelas. Gelap_lampu kelas telah dimatikan. Aku terus melangkah sambil berharap semoga bertemu dengan satu atau dua orang murid yang juga kemalaman sepertiku.
            Sedikit lagi...tinggal melewati lorong kecil dibelakang gedung sekolah lalu aku bisa segera sampai di asrama.
            Sambil membayangkan Nakamaru dan Junnosuke yang tidak sabar menungguku di kantin asrama aku berjalan menuju lorong dibelakang gedung sekolah.
            “Junno harus memberiku jatah pudingnya malam ini, gara-gara dia aku harus melewati lorong yang sempit itu seorang diri”, gumamku.
            “Berani taruhan, dia sendiri juga tidak akan berani melewati lorong itu sendirian”, kataku lagi sambil membayangkan ekspresi muka Junnosuke yang ketakutan_seperti aku saat ini.
            “Apalagi Maru, dia bisa pingsan kalau harus sendirian seperti ini”, kataku sambil mengangguk-anggukkan kepala.
            Kukepalkan kedua telapak tanganku_membulatkan tekad, mengumpulkan semua keberanianku. “Ayo Jin, tinggal beberapa meter lagi!”, setengah berteriak.

yakusoku (promise..) part 5


 5.  Perjanjian
            Aku yakin_pasti aku sedang bermimpi. Aku berdiri ditengah-tengah padang rumput yang luas. Tapi anehnya aku bukanlah aku. Aku menatap kedua tanganku, aneh...kenapa tanganku terlihat begitu mungil dan halus. Lalu kutatap kedua kakiku...hmm..kenapa kakiku terlihat seperti kaki seorang gadis...jantungku berdebar dengan kencang.
“Mustahil!!”, jeritku dalam hati. Kupejamkan mataku_berharap apa yang kupikirkan tidak mungkin terjadi. Pelan-pelan kubuka kedua mataku. Sekali lagi_kulihat kedua tanganku dan kedua kakiku. Kuperiksa seluruh bagian tubuhku_benar dugaanku. Aku mengumpat dan bertanya dalam hati, “ aku Jin Akanishi, seorang cowok tulen kenapa sekarang tiba-tiba berubah menjadi seorang gadis?”.
            Gadis ini, atau lebih tepatnya adalah aku memiliki sepasang tangan dan kaki yang mungil_rapuh. Pelan-pelan aku mulai berjalan, takut kakiku yang mungil bisa patah kalau kupaksa untuk berjalan cepat.
            Angin berhembus menerpa rambut hitamku yang panjang..
”Hei..tunggu dulu, sejak kapan rambutku jadi panjang?”, tanyaku bingung dalam hati. “Hello...sekarangkan aku berubah jadi cewek, bukan hal yang mustahil donk kalau dalam sekejap rambutku juga berubah jadi panjang”, jawabku sendiri.
            Berusaha tetap tenang, aku mulai mengamati keadaan disekelilingku.
Padang rumput yang sama dengan mimpiku sebelumnya, yang membedakan sekarang hari masih terang. Aku dapat melihat jelas pemandangan disekitarku. Sepanjang mata memandang hanya terlihat hamparan rumput hijau, menyejukkan mata, bergoyang-goyang tertiup angin sepoi-sepoi. Dikejauhan aku bisa mendengar suara kicau burung yang riang, bersahut-sahutan, satu dengan yang lainnya. Matahari bersinar terang, sungguh berbeda dengan Forkstown__disana matahari tidak pernah bersinar terang, kabut tebal selalu menyelimuti kota sepanjang waktu.
            Aku berbaring, beralaskan rumput yang tebal. Semilir angin membuai kulitku. Kutatap langit yang cerah, awan-awan seputih kapas berderet_berarak-arakan, kubiarkan hangatnya matahari menerpa kulitku yang pucat karena kekurangan vitamin D.
            Kuhirup dalam-dalam udara yang masih bersih belum tercemar oleh polusi, segarnya aroma rerumputan ikut menelusup masuk ke dalam hidungku, tubuhku terasa sejuk. Tanganku meraba rerumputan yang bergoyang-goyang tertiup angin, membiarkannya menggelitik telapak tanganku.
            Tempat ini benar-benar indah dan damai, seperti berada di surga. Aku tidak mau terbangun dan meninggalkannya. Aku merasa nyaman berada disini.
            Kupejamkan kedua mataku_meresapi indahnya alam, mendengarkan hembusan angin berbisik di telingaku, mendengarkan suara gesekan rumput, kicauan burung_semuanya menyatu bagai sebuah symphoni yang indah, merdu, menenangkan jiwa, membuatku hanyut terbuai di dalamnya.
            Aku terkejut dan langsung terbangun saat mendengar suara seseorang memanggilku, menyebut-nyebut namaku_atau pada awalnya kukira memanggil namaku. Suaranya terdengar lirih, tenggelam diantara hembusan angin. Aku harus memasang telingaku baik-baik_berkonsentrasi penuh untuk dapat mendengarkan suara itu, suara yang sangat merdu, lembut_selembut sutera, yang dapat membuaiku, menghanyutkanku, seperti candu yang membiusku_membuatku terlena.
            Aku bangkit, berdiri menatap kesekelilingku, mencari-cari sang pemilik suara. Suaranya terdengar dekat tetapi dalam waktu bersamaan juga terdengar sangat jauh. Memanggil-manggilku, menggodaku, membuatku penasaran_terus mencari.
            Perlu beberapa menit bagiku menemukan sang pemilik suara...
            Berdiri diantara hijaunya rerumputan, seorang pemuda tampan. Tubuhnya tinggi, tegap_sempurna, seperti patung dewa-dewa Yunani. Kulitnya putih pucat, sama seperti kulitku. Rambut hitamnya yang panjang tergerai sebahu. Perutnya yang rata, dadanya yang bidang terlihat dari balik kemeja yang dibiarkan terbuka. Kulitnya terlihat kontras dengan pakaiannya yang serba hitam. Kedua tangannya terentang ke samping, telapak tangannya menghadap ke atas, kepalanya mendongak_menatap matahari. Dia terlihat sedang menikmati sinar matahari, membiarkan hangatnya matahari menerpa seluruh tubuhnya. Bibirnya yang indah bergerak-gerak, memanggil sebuah nama.
            Terpesona melihatnya, aku terus menatapnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki tanpa berkedip. Saat itu aku baru menyadari_dia bertelanjang kaki. Aku bisa melihat kedua kakinya dibalik rerumputan.
            Berusaha tetap tenang_tidak berisik, aku takut kehadiranku mengganggunya. Aku terus memandanginya, mengaguminya. Dia sangat sempurna. Kutahan nafasku yang kian menderu seirama detak jantungku yang berdegup semakin kencang.
            Pemuda itu menoleh ke arahku...
Jantungku seakan berhenti berdetak, nafasku terasa sesak, perutku terasa aneh__seakan ada kupu-kupu yang berterbangan di dalamnya, menggelitiki perutku, menimbulkan sensasi yang aneh. Wajahnya yang tampan memandangiku. Sorot matanya yang tajam terus menatap mataku, membuat kedua lututku bergetar lemas. Bibirnya yang menggoda, membisikkan sebuah nama dengan lembut, “Yuki.....”. Suaranya bergema di dalam kepalaku.
            “Siapa Yuki?”, aku bertanya-tanya dalam hati.
Aneh_aku terdiam mematung, aku tidak dapat bergerak, tubuhku terasa lemas seperti tidak bertulang saat mendengar pemuda itu menyebut nama Yuki. Seakan-akan nama itu terasa akrab ditelingaku.
            Pemuda itu berjalan menghampiriku, gerakkannya gesit dan anggun bagaikan seorang bangsawan. Dia seakan melayang di atas rumput.
            Sebelum aku sempat bernafas, dia sudah berdiri dengan sempurna dihadapanku.
            Matanya yang merah_semerah darah menatapku dengan lembut. Aku seharusnya merasa takut dengan mata itu. Merah.....warna yang aneh. Entah kenapa aku malah merasa sudah bertahun-tahun merindukan mata itu.
            Pemuda itu mencondongkan tubuhnya semakin mendekat kearahku. Seluruh tubuhku memanas, mukaku memerah, hatiku semakin berdebar-debar. Wajahnya yang tampan mendekati wajahku. Aku tersipu, menunduk_malu. Aku bisa mencium aroma nafasnya yang wangi memabukkan.
Lirih dan lembut dia berbisik ditelingaku,”Yuki....aku mencintaimu...Yuki....jangan lupakan aku...”.
Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar ucapannya padaku. Aku tahu semua ucapannya ditujukan untuk Yuki, gadis yang entah kenapa aku sekarang berada didalam tubuhnya. Tapi kenapa seakan-akan kata-kata itu ditujukan padaku_kenapa aku berharap kata-kata itu untuk diriku seorang, bukan untuk gadis bernama Yuki ini.
            “Yuki........maafkan aku, aku tidak bisa bersamamu. Aku berjanji meskipun kita tidak bisa bersatu, aku akan selalu melindungimu..Walaupun harus menunggu ratusan tahun lamanya”, pemuda itu berbisik lagi padaku. Suaranya terdengar sangat sedih.
Mendengarnya_membuatku juga merasa sedih_hatiku terasa sakit dan perih. Aku merasa semakin aneh. Seakan-akan dulu pernah merasakan perasaan yang sama seperti ini, rasa yang telah lama terkubur jauh didalam hatiku. Tanpa sebab, air mata mulai membasahi pipiku_aku menangis. Badanku mulai bergetar, menahan rasa perih dan sedih yang semakin menyeruak keluar dari dalam hatiku.
            Pemuda itu memelukku dengan lembut. Aku dapat merasakan kulitnya yang dingin_sedingin es menyentuh kulitku. Tubuhnya yang dingin malah membuatku merasa semakin hangat ketika dia memelukku semakin erat. Sesuatu dalam diriku menggerakkan tanganku meraih punggungnya, balas memeluknya dengan erat. Bingung_aku merasa takut kehilangannya. Seperti de javu, bukan kali ini saja dia pernah pergi menghilang meninggalkanku sendiri_kesepian.
            Tangannya yang dingin berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku. Aku semakin kuat memeluk punggungnya_tidak rela dia pergi menjauh. Dia tersenyum miris sambil mengangkat tangan kanannya. Aku memejamkan mata, membayangkan dia akan memukulku supaya aku melepaskan pelukanku. Aku merasakan tangan kanannya mengusap-usap lembut kepalaku. Kuberanikan diri membuka kedua mataku. Aku bisa melihat mata merahnya menatapku, matanya terlihat sedih. Kami saling bertatapan. Dia mengecup keningku, bibirnya pun terasa dingin. Aku membuka mulutku_mencoba bertanya apa yang membuatnya sedih tiba-tiba dia mencium bibirku. Tanpa ragu akupun membalas ciumannya. Aku mencintai pemuda ini, setidaknya itu yang kurasakan saat ini. Aku tidak peduli apakah itu murni perasaanku atau itu adalah rasa cinta yang dimiliki gadis ini, yang jelas tanpa alasan saat ini aku sangat mencintai pemuda ini.
            Pemuda itu berlutut dihadapanku, tangan kanannya meraih telapak tangan kiriku dengan lembut. Dia mengecup cincin dijari manisku. Cincin ini tampak tidak asing lagi bagiku. Terkejut, “Hei...bukannya ini cincin yang sama dengan cincin pemberian dari Dad!”, teriakku dalam hati. Tidak salah lagi, bentuknya sama persis dengan cincinku.
            Pemuda itu mendongakkan wajahnya, menatapku dengan hangat. Masih terlihat kesedihan disorot matanya itu. “Yuki.....bila saatnya telah tiba, sebutlah namaku dan aku akan datang menemuimu lagi. Apapun yang akan terjadi. Bagaimanapun keadaan dirimu kelak, aku akan selalu menunggumu...”.
            Cahaya putih yang menyilaukan menyinari pemuda itu. Kupicingkan mataku berusaha untuk terus menatap pemuda itu_tak menghiraukan cahayanya yang semakin terang.
Samar-samar tubuh pemuda itu semakin menghilang, berubah menjadi ratusan butiran cahaya. Mulai dari bagian kaki terus merambat naik keatas. “Yuki....jangan sedih, aku selalu mencintaimu..maafkan aku”,kata pemuda itu sesaat sebelum seluruh tubuhnya menghilang.
            Aku hanya bisa diam mematung. Aku merasa shock. Kenapa dia harus menghilang secepat ini, padahal kita baru saja bertemu. Air mataku tidak terbendung lagi. Aku merosot jatuh ke tanah. Tubuhku terasa lemas. Kupegangi dadaku yang terasa semakin perih dengan kedua tanganku. Aku semakin menangis tersedu-sedu. Air mata membanjiri kedua mataku. Pandanganku jadi kabur. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Butiran-butiran cahaya itu beterbangan mengelilingiku. Aku yakin butiran cahaya itu berkumpul menjadi satu dan melayang masuk kedalam cincinku. Batu dicincinku bersinar sesaat, kemudian redup dan kembali seperti sedia kala setelah cahaya itu masuk kedalamnya.
            Aku kembali menangis_menangisi kepergian pemuda itu, menangisi cintaku atau mungkin cinta gadis ini yang juga ikut kurasakan. Tanpa sadar aku memanggil sebuah nama. Nama yang baru kali ini kudengar tapi terasa tidak asing lagi bagiku. Nama yang terdengar akrab ditelingaku. Nama yang entah kenapa aku seperti telah merindukannya selama bertahun-tahun.
            “Kame.......Kame......”, dengan suara tercekat aku memanggil nama itu. Hatiku terasa perih saat mengucapkan nama itu. Tersedu-sedu_sekali lagi ku memanggil nama itu,”Kame......Kame.......”.
            Tubuhku terguncang_dari kejauhan terdengar sebuah suara memanggil namaku, bukan sebagai Yuki tapi sebagai Jin. “Jin.....!”. Suara itu semakin keras memanggilku. Aku berlari mencari sumber suara itu. Terus berlari, terus meninggalkan padang rumput itu menuju kedalam hutan. Kakiku terasa sakit. Aku melihat kedua telapak kakiku yang mulai berdarah tergores ilalang dan kerikil yang tajam. Aku terus memaksa kedua kakiku untuk terus berlari. Menepiskan rasa sakit yang semakin merambat keseluruh tubuhku. Aku terus berlari tanpa henti. Disuatu titik_kakiku yang sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi karena rasa sakit yang luar biasa membuatku terjatuh.
            Kubuka kedua mataku. Aku melihat dinding kamarku yang hangat. Aku terus melihat kesekelilingku dan disanalah aku melihat Nakamaru duduk disebelah ranjangku menatapku dengan cemas. Aku melihat tanganku, kakiku dan memeriksa seluruh tubuhku. Sekarang aku adalah aku, Jin Akanishi. Aku bukanlah Yuki lagi. Mungkin semua kejadian tadi hanya mimpi.
            Melihat tingkah lakuku yang aneh Nakamaru semakin terlihat mencemaskanku. “Jin, kau mimpi buruk lagi ya?”, tanyanya dengan suara pelan dan hati-hati padaku. “Kau tahu, kau tidur sambil menangis”, tambahnya.
            Aku cuma bisa mengangguk lemah menanggapi pertanyaanya sambil menyeka air mata diwajahku.
            “Ini..minumlah air ini, supaya kamu merasa tenang”; Maru memberikan segelas air padaku.
            Gemetaran, aku menerimanya. Pelan-pelan aku menyesap air didalam gelas tersebut sambil menarik nafas dalam-dalam_berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku tidak mau membuat Maru terus menerus mengkhawatirkanku.
            “Thanks..Sekarang aku udah merasa lebih baik kok, jadi kau tidak usah khawatir seperti itu lagi”, aku berusaha tersenyum padanya. “Maaf aku mengganggu tidurmu, sekarang sebaiknya kau lanjutkan tidurmu lagi oke? Aku juga akan berusaha untuk tidur lagi”, kataku.
            Nakamaru terus menatapku, menganalisa bagaimana keadaanku sekarang. Aku mati-matian menutupi rasa gelisahku sambil memasang senyum terbaikku_menurutku. Aku berpura-pura menguap, merapikan letak bantalku, menaikkan selimutku dan memejamkan kedua mataku. “Selamat tidur Maru”, bisikku lirih.
            Melihatku yang mulai terlelap lagi_tanpa menyadari kalau sebenarnya aku hanya berpura-pura, Nakamaru pun mematikan lampu dan berbaring lagi diranjangnya. Beberapa menit kemudian aku dapat mendengar suara dengkurannya yang halus dan pelan.
            Sementara aku sekarang berusaha untuk memejamkan kedua mataku lagi. Setiap aku mencoba untuk tidur bayangan mimpi tadi kembali mengusikku. Mimpi itu benar-benar terasa sangat nyata. Aku merasa Yuki adalah aku dan Kame benar-benar menjadi kekasihku. Tunggu dulu_aku tidak boleh berpikir seperti itu. Aku sendirikan cowok, masa aku memikirkan seorang cowok dan membayangkannya sebagai kekasihku. Itu tidak mungkin terjadi.
            Aku berusaha menepis pikiran-pikiran aneh yang melintas di otakku sambil menatap cincin pemberian Dad yang melingkar di jari manisku. Mungkin karena rasa lelah, akhirnya aku kembali tertidur sampai sinar matahari malu-malu menelusup masuk kedalam kamarku.