9. Bloody night
Aku memberanikan diri melewati lorong yang sempit dan gelap. Tergesa-gesa_berusaha tetap waspada, melihat kekiri dan kekanan_sesekali menoleh kebelakang. Keringat dingin mengucur deras ditubuhku. Jantungku berdetak semakin kencang_berpacu dengan suara nafasku.
Kupercepat langkah kakiku_suaranya bergema disepanjang lorong.
Udara dingin semakin berhembus_membuat tengkukku bergidik.
Aku terus mengumpat dalam hati,”Sial...aku benci lorong ini”.
Sesekali aku melihat kearah lukisan-lukisan yang terpampang didinding lorong. Lukisan yang aneh. Bingkai-bingkainya mulai kusam. Membuatku semakin merinding. Seolah-olah mata dalam lukisan-lukisan itu sedang menatapku tajam, menyindirku yang ketakutan.
Langkahku terhenti disudut lorong, melihat satu lukisan yang aneh. Aku yakin seharusnya itu adalah lukisan seorang gadis berambut perak yang sedang memegang bunga mawar. Aku sering melihat lukisan itu disiang hari saat melewati lorong ini bersama Junnosuke dan Nakamaru. Mataku tidak mungkin salah. Kugosok kedua mataku_tidak percaya kutatap lukisan itu sekali lagi.
Lukisan itu tetap kosong.
Aku terdiam_mematung. Rasa dingin menjalari tubuhku. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Jantungku berdebar semakin kencang_ingin melompat keluar dari rongga dadaku.
“Tidak mungkin.....”, bisikku lirih_tidak percaya.
Dalam hitungan detik, sesuatu mencengkeram punggungku dari belakang. Tangan-tangannya yang kurus dan dingin mendekapku erat-erat. Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menoleh kebelakang. Disanalah gadis dalam lukisan itu berada. Dibelakangku, mencengkeramku, menangkapku.
Semua usahaku sia-sia, gadis itu tidak bergeming. Kokoh seperti batu. Tangannya yang kurus semakin kuat mencengkeramku. Punggungku terasa sakit. Nafasnya yang dingin menderu_berhembus ditengkukku.
Tangannya menyentuh leherku. Aku bisa merasakan kukunya yang tajam mengoyak kulitku. Perih_sakit. Darahku mulai mengalir. Dengus nafasnya semakin menderu ditelingaku. Menghirup aroma darahku. Lidahnya yang dingin dan kasar menjilat leherku lalu mengerang_puas. Sepasang taring yang tajam semakin berkilauan. Sekuat tenaga ditancapkannya taring itu menghujam leherku.
Aku menjerit kesakitan. Lemas_semua tenagaku hilang begitu saja begitu taringnya menembus dan mengoyak leherku. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku_kaku.
Gadis itu melepaskan cengkeramannya. Aku masih tetap terdiam mematung. Betapun aku berusaha menggerakkan tubuhku, aku tidak bisa. Aku merasa frustasi. Inikah akhir dari hidupku. Badanku mulai terkulai lemas. Mataku menatap kosong_hampa.
Terlintas semua kenangan dalam benakku. Kenanganku bersama Mom dan Dad. Teman-temanku. Sekolahku. Kehidupanku. Mimpi-mimpiku. Kame...
Aku terkejut sendiri. Kenapa disaat kritis seperti ini aku malah membayangkan dan memikirkan Kame. Apa hubungannya denganku. Setahuku dia kan mencintai Yuki, gadis dalam mimpiku.
Kurasakan gadis itu menghisap darahku dengan rakus. Menghisap seluruh jiwaku keluar dari tubuhku. Gadis itu berada didepaanku. Tangan kanannya memegang wajahku, tangan kirinya memelukku erat.
Pikiranku semakin melayang-layang. Membumbung tinggi ke angkasa. Aku menyerah. Aku lelah. Aku pasrah. Sudah cukup_aku tidak mau melawan lagi. Kupejamkan kedua mataku. Membayangkan Junnosuke dan Nakamaru yang cemas sedang menungguku. Mereka berdua teman terbaik dalam hidupku.
“Maafkan aku Junno......Maru”, suaraku lirih berbaur dengan suara hembusan angin malam.
Saat aku sudah menyerah_samar-samar kudengar sebuah suara. Suara yang terasa akrab ditelingaku. Suara yang entah kenapa sangat kurindukan sampai aku menitikkan air mata saat mendengarnya
“Yuki........”, suara itu memanggil-manggil Yuki.
“Yuki.....jangan menyerah.......”, semakin keras terdengar ditelingaku.
“Yuki.....panggil namaku!”, perintah suara itu.
Ya...aku mengenal suara ini. Suara yang selalu ada di mimpi-mimpiku. Suara yang aku harap muncul didalam mimpiku. Suara yang lembut dan indah. Suara yang memabukkanku bagaikan candu. Suara milik pemuda dalam mimpiku. Suara milik Kame...
Apakah aku sedang bermimpi atau aku sudah mati. Kenapa aku mendengar suara Kame. Dimana aku. Aku bingung_linglung. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi lalu tersentak kaget.
Sekarang aku ingat.
Gadis dalam lukisan itu menyerangku dan menghisap darahku.
Tiba-tiba rasa sakit itu menyeruak lagi dari dalam diriku. Aku tersadar_mendengar suara rakus gadis itu menghisap darahku. Kuku-kukunya yang tajam menancap dipunggungku. Kulit wajahnya yang dingin menempel dipipiku.
Spontan aku memanggil sebuah nama, lirih. Tapi telingaku dapat mendengar jelas setiap huruf namanya kusebut. “Kame.......”.
“Kame....”, panggilku lagi dengan suara yang lebih keras.
“Kame....!!”, teriakku lantang. Suaraku membahana disepanjang lorong. Menimbulkan gema, mengulang-ulang nama Kame.
Gadis itu tetap mengacuhkanku, memilih sibuk meneruskan menghisap darahku_yakin tidak akan ada yang datang menolongku.
“Bodoh kau Jin!”, umpatku dalam hati.
“Dia cuma ada dalam mimpi”, betakku sendiri.
“Dia tidak nyata”, kata suara dalam otakku.
“Kame......”, sekali lagi aku memanggil namanya dengan lemah_tidak mau berharap lagi.
Mataku panas. Air mataku mulai menetes membasahi wajahku. Aku menggigil kedinginan.
Samar-samar cincin ditanganku mulai berpendar memancarkan cahaya putih. Lemah pada awalnya dan akhirnya bersinar semakin kuat. Menyilaukan mata.
Gadis itu terkejut_menjerit keras. Buru-buru melepaskan taringnya yang menancap dileherku. Dengan kasar mendorongku_menyebabkanku jatuh terjerembab dilantai yang dingin. Cepat-cepat melindungi kedua matanya dari cahaya yang menyilaukan itu. Bersembunyi dibelakang pilar. Sorot matanya terlihat marah.
Cahaya putih itu semakin lama semakin memudar. Aku menggosok kedua mataku, menghapus air mataku_berusaha melihat apa yang sedang terjadi. Tangan kananku menyentuh leherku yang terluka. Aku bisa merasakan darahku yang lengket membasahi jari-jari tanganku. Kutekan luka dileherku_berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakitnya. Menghentikan pendarahan.
Aku mencoba untuk melihat luka ditubuhku. Aku memalingkan wajahku sesaat. Tiba-tiba seorang pemuda duduk berlutut dihadapanku. Pakaiannya serba hitam. Kancing bagian atas kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih pucat. Rambut hitamnya menutupi wajahnya. Dengan gerakan yang anggun disibakkan rambutnya memperlihatkan wajahnya yang tampan_sempurna.
Terpesona_aku terdiam. Jantungku berdebar kencang. Perutku terasa aneh. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan didalamnya.
Aku ingat wajah itu. Wajah orang yang tanpa alasan aku sangat merindukannya. Wajah yang selalu ingin kutemui didalam mimpiku.
“Kame...”, kusebut namanya.
Kame tersenyum lembut padaku. Tangannya yang dingin membelai kepalaku, seolah-olah berusaha menenangkanku. Menyentuh luka dileherku dengan tatapan sedih.
Telapak tangannya mengeluarkan cahaya yang terasa hangat dikulitku. Sakit yang kurasakan perlahan-lahan menghilang bersamaan dengan menutupnya lukaku. Hilang tak berbekas.
Kame memelukku erat.
Aku bisa mencium aroma nafasnya yang wangi. Wajahku memerah. Dalam tubuhku menjalar rasa hangat. Jantungku berlomba-lomba ingin melompat keluar, berdetak semakin keras.
Kame mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, “Yuki....aku datang”. Kemudian mengecup keningku. Bangkit, berdiri menatap kearah gadis dalam lukisan.
Gadis itu masih bersembunyi dibalik pilar, mendengus kesal. Masih merasa terganggu oleh kedatangan Kame.
“Keluar kau!”, tantang Kame.
“Beraninya kau menyakiti Yuki ku”, bentak Kame.
“Akan ku balas setiap luka yang diderita Yuki”, Kame mengacungkan telunjuknya ke arah sang gadis.
Gadis itu menyeringai, menunjukkan kedua taringnya. Perlahan-lahan bangkit, keluar dari balik bayangan pilar. Gaun putihnya ternoda merah_merah dari darahku. Rambut pirangnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Mata merahnya menatap tajam kearah Kame. Kedua kakinya yang mungil berjingkat melangkah mendekat. Diperlihatkannya kuku-kukunya yang tajam berwarna merah terkena darahku.
Mengejek Kame, gadis itu menjulurkan lidahnya yang panjang. Menjilati darah dikukunya. Memejamkan mata, menikmati setiap tetes darah yang masuk dimulutnya.
Melihatnya membuatku mual. Mengingatkanku rasa sakit saat digigit dan dihisap darahku. Spontan aku meraba leherku. Karena Kame, luka itu sudah hilang tak berbekas.
“Cih......setan sialan!”, Kame merasa kesal.
“Hi...hi....hi....”, tawa gadis itu, semakin mengejek.
“Berani-beraninya kau mengganggu acara makanku”, teriak gadis itu dengan suara tinggi.
Gadis itu mengacungkan kedua tangannya. Menunjukkan kuku-kukunya yang tajam dan semakin memanjang. Bola matanya membesar. Telinganya meruncing. Mulutnya menyerigai aneh. Berteriak keras, berlari kearah Kame. Bermaksud untuk menyerangnya tanpa ampun.
Kame tersenyum tenang menghadapinya.
Aku panik, takut. Mengkhawatirkan Kame.
Kame mengangkat tangan kirinya keatas, melindungi wajahnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pedang yang aku sendiri tidak tahu darimana datangnya.
Ditebaskannya pedang itu kearah sang gadis. Gerakannya sangat cepat, aku sendiri kesulitan untuk melihatnya.
Gadis itu berhenti berlari. Terdiam, melongo sesaat untuk menyadari kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing telah patah terkena tebasan. Gaunnya terkoyak dibeberapa bagian. Helaian rambut perak beterbangan disekitarnya.
“Aaaaaaaaaargh......!”, gadis itu berteriak kesal mengambil ancang-ancang untuk menyerang lagi. Raut wajahnya terlihat bengis.
Kame mengibaskan tangannya_menantang. Mengangkat pedangnya. Bersiap-siap menyambut serangan lawan.
Melompat, gadis itu menyerang Kame dari atas. Kuku-kukunya dihujamkan kearah kepala Kame.
Dengan sigap Kame menepis dan menghindar. Mengayunkan pedangnya_melukai sang gadis, memotong kedua tangannya.
Terjatuh dan tersungkur dilantai. Gadis itu mengerang kesakitan. Menatap tajam kearah Kame. Darah mengalir dari luka potong ditangannya. Potongan tangannya mengelepar-gelepar dilantai.
Pemandangan yang sangat mengerikan. Aku bergidik melihatnya. Memaksa kedua mataku untuk tetap melihat_berusaha tidak berpaling.
Kame menatap dingin. Melangkah mendekati sang gadis. Mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Ini balasannya karena telah melukai Yuki ku!”, menghunuskan pedangnya menusuk jatung sang gadis. Mengoyak tubuhnya.
Mengerang kesakitan, jeritan gadis itu memekakkan telinga. Urat nadinya yang berwarna merah keunguan terlihat berkedut-kedut dibalik kulit putihnya yang tipis seperti kulit bawang. Dibeberapa bagian tubuhnya terlihat tonjolan-tonjolan kecil, semakin lama semakin membengkak dan terus membesar_menarik kulitnya.
Gadis itu terus berteriak dan mengumpat.
Dalam hitungan detik_tonjolan-tonjolan urat dibawah kulitnya satu persatu mulai pecah. Darah merah memercik kedinding dibelakangnya, ke lantai disekitarnya.
Terengah-engah, berjuang untuk bernafas. Matanya semakin melotot keluar. Darah terus mengalir keluar dari dalam tubuhnya. Badannya bergetar_kejang-kejang. Mati kehabisan darah.
Tubuhnya yang mungil terlentang dilantai_diam tak bernyawa.
Ujung kakinya mulai bersinar, terus merambat sampai keujung kepala. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang tak berbekas. Begitupula dengan noda darah didinding dan dilantai_menghilang. Seakan-akan kejadian tadi tidak pernah ada.
Tubuhku merosot kelantai. Gemetar_tanganku meraba-raba mencari sandaran. Aku berusaha mencerna kejadian tadi. Bertanya-tanya dalam hati apakah ini mimpi atau nyata. Kalau cuma mimpi kenapa terasa begitu nyata. Kalau bukan mimpi kenapa begitu aneh. Akal sehatku tidak bisa menerimanya.
Kutarik nafasku dalam-dalam sampai rongga dadaku terasa penuh sesak oleh udara, perlahan-lahan kuhembuskan sambil menenangkan diriku sendiri. Berpikir apa yang akan kukatakan pada Nakamaru dan Junnosuke. Pasti mereka tidak akan percaya. Aku yakin itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar