Tampilkan postingan dengan label my fantasy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label my fantasy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Juli 2011

yakusoku (promise..) part 10 -end-


10.  Reunion

            Aku masih duduk terdiam di lantai lorong yang dingin dan gelap. Mereka-reka cerita apa yang akan kukatakan pada kedua temanku. Kutekuk kedua kakiku sementara kedua tanganku memeluk lututku.
            Kame dengan tenang menghampiriku dan duduk disebelahku.
            Rasa shockku hampir membuatku lupa akan keberadaannya disini.
            Aku menoleh kearahnya, melihatnya sekilas, langsung menundukkan wajahku kebawah. Aku terus memandangi lantai, tidak berani menatapnya lebih lama.
            Dia tidak berubah.
            Sosoknya masih sama persis seperti yang kuingat saat terakhir kali aku memimpikannya. Wajahnya yang tampan. Tubuhnya yang tegap bagaikan patung dewa yang berubah menjadi nyata_sempurna. Kulitnya yang putih pucat. Rambutnya yang hitam, kontras dengan warna kulitnya. Hembusan nafasnya yang dingin dan aromanya yang wangi menggoda. Membuatku berdebar-debar.
            Wajahku memerah.
            Aku terus menundukkan wajahku, menutupinya dengan rambutku. Berusaha membuatnya tidak melihatku yang tersipu-sipu.
            Sungguh perasaan yang aneh. Tidak sepantasnya aku merasakan ini. Aku seorang cowok dan Kame_walaupun dia demon dia tetap seorang cowok juga. Tapi kenapa aku tetap berdebar-debar berada disebelahnya. Kenapa aku merasa begitu merindukannya sampai ingin menangis kalau memikirkannya.
            Ini tidak mungkin..ini tidak boleh terjadi..
            Aku terus memikirkannya. Kepalaku terasa berdenyut_sakit. Dadaku terasa perih. Aku semakin menunduk dan meringkuk.
            Kame menatapku lembut. Dicondongkan badannya mendekatiku. Merentangkan kedua tangannya yang panjang. Memelukku dari belakang.
            Walaupun tangannya terasa dingin dikulitku_hatiku terassa hangat saat dia memelukku.
            Kupejamkan kedua mataku, menahan perasaan yang bergejolak dihatiku.
            Kame berbisik ditelingaku. Deru nafasnya yang dingin terasa mengenai tengkukku. Aroma nafasnya memabukkanku, menghipnotisku, membuatku merasa semakin ingin balas memeluknya.
            “Yuki.......ini aku.....Masih ingatkah kau padaku, Yuki?”.
            “Hei...kenapa dia terus memanggilku Yuki?”, tanyaku dalam hati.
            “Aku Jin, bukan Yuki”, tegasku setengah berbisik_hampir tak bersuara.
            Seperti mendengar kegelisahanku, Kame memelukku semakin erat dan berkata dengan lembut, “Yuki.....aku kembali...aku selalu bisa menemukanmu dimanapun kau berada. Itu janjiku padamu. Sekarang aku akan selalu bersamamu sampai kau tidak menginginkanku lagi”.
            Dibalik suaranya yang indah dan lembut, terpancar kesedihan yang dalam_membuatku ikut terhanyut dalam rasa sedihnya itu.
            “Siapapun namamu...seperti apapun dirimu...bagiku kau tetaplah Yuki ku. Yuki yang selalu kucintai”. Kame membelai kepalaku_sama seperti saat dia membelaiku dalam mimpi.
            Kutolehkan wajahku kebelakang, mencoba memandang wajahnya dan berdiri menghadapnya.
            “Tapi aku Jin...”, paksaku dengan nada tinggi.
            “Aku seorang cowok”, tambahku setengah memaksa.
            Kame berdiri dan tersenyum kepadaku. Senyum yang sangat menawan_membuatku semakin terpesona, memaksaku untuk memalingkan wajahku. Jika aku tidak segera
berpaling aku pasti akan menyerah kalah oleh pesonanya.
            “Saat marah kau terlihat manis”, godanya.
            Aku semakin cemberut. Mulutku mengerucut_manyun. Pura-pura tidak menanggapi kata-katanya.
            “Hah...gawat, kau benar-benar marah ya?”, Kame menepuk keningnya.
            Aku masih berpura-pura tidak peduli. Kutekuk kedua tanganku didepan dadaku. Aku semakin memalingkan wajahku.
            Diraihnya tanganku dan segera kutepiskan.
            “Jin......”, dengan lembut dia memanggil namaku.
            Refleks..aku langsung melihatnya.
            Kame tersenyum lagi, “Nah, gitu donk. Anak manis”. Sambil mengelus-elus kepalaku lagi.
            Hati kecilku menjerit. Kenapa aku mudah tergoda dengan suara indahnya.
            “Jin...kau adalah Yuki dan Yuki adalah kau”, Kame berusaha menjelaskan padaku.
            “Apa?”, terkejut_aku menatapnya tidak percaya. Aku pasti salah dengar.
            “Dimasa lalu kau hidup sebagai Yuki, gadis yang kucintai”, Kame menatapku, kedua tangannya memegang pundakku.
            Kutatap wajahnya dalam-dalam, otakku berusaha keras memikirkan apa yang barusan dia katakan.
            Setelah menghela nafas dalam-dalam_tidak sabar, “Baiklah, dengarkan baik-baik. Sekarang akan kujelaskan semuanya”.
            Kusibakkan rambut yang menutupi telingaku, mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya.
            Setelah mendengar, berdebat, mengumpat dan mengelak, aku mulai mendapat gambaran tentang apa yang telah terjadi.
            Aku adalah Yuki...
            Dimasa lalu aku adalah seorang gadis yang hidup seorang diri ditengah hutan Mountdew. Persis seperti apa yang kuimpikan selama ini. Rumah tua itu, padang rumput itu. Kini semuanya saling berhubungan satu sama yang lain.
            Aku bertemu dengan Kame ditengah padang rumput disebelah rumahku. Dalam sekejap kita menjadi teman akrab.
            Kame sesekali datang mengunjungiku, menemaniku berjalan-jalan dipadang rumput, bercanda dan tertawa bersama_kemudian dia menghilang selama berhari-hari.
            Dia menghindari para demon yang mengincar dirinya, dia memikirkan keselamatanku. Tidak ingin melihatku terluka.
            Dalam kesendirianku, aku selalu membayangkan Kame, memikirkannya, merindukannya. Kurasa aku mulai jatuh cinta padanya.
            Saat kuungkapkan perasaanku, aku merasa lega dan bahagia. Kame membalas perasaanku.
            Aku yang egois, memaksa untuk selalu berada disisinya. Mengabaikan semua bahaya yang akan kuhadapi, tanpa memikirkan perasaan Kame yang semakin terluka saat melihatku terluka karena ulah para demon yang terus datang menyerang.
            Akulah yang memaksanya berjanji untuk selalu mencintaiku, selalu menemaniku dimanapun aku berada tanpa memikirkan dirinya.
            Karena akulah_Kame memilih untuk menyerah dan menyegel dirinya beserta seluruh kekuatannya kedalam cincin. Bertahun-tahun dalam kesendirian, menungguku terlahir kembali.
            Aku menangis..........semua ini salahku. Kalau saja aku tidak bertemu dengannya. Kalau saja aku tidak mencintainya. Kalua saja aku tidak egois dan memaksa untuk tinggal bersamanya, semua ini pasti tidak akan terjadi. Kame pasti akan lebih bahagia.
            Melihatku mulai menangis, Kame menarik tubuhku, memelukku.
            “Aku tidak pernah menyesal mencintaimu dan akan selalu mencintaimu”, katanya lembut sambil mengecup keningku.
            “Aku tidak peduli kau cewek atau cowok, yang kucintai bukan tubuh dan wajahmu, aku mencintai jiwamu yang hangat dan lembut”, berusaha meyakinkanku.
            “Selama kau masih menginginkanku, aku akan selalu menemanimu, melindungimu, mencintaimu”, katanya tegas sambil menatap kedua mataku. Wajahnya begitu dekat, semakin mendekat_menciumku.
            Aku balas menciumnya, kedua tanganku memeluk punggungnya.
            Selesai berciuman terlintas sesuatu dipikiranku.
            “Tunggu dulu.....aku bukan pecinta sesama jenis. Aku kan cowok normal”, aku menegaskan.
            “Tapi......kenapa aku mencintaimu? Apa karena Yuki mencintaimu, sehingga aku jadi ikut merasakan cintanya padamu?”, bertanya pada Kame.
            Kame tertawa...tawanya bergema disepanjang lorong.
            “Sudahlah...jangan terlalu dipikir, mukamu kelihatan jelek tuh”, Kame nyengir mengejekku.
            Aku menggembungkan kedua pipiku_cemberut.
            Sambil mencubit kedua pipiku, “Aku tidak peduli kau mencintaiku atau tidak, aku akan tetap selalu mencintaimu. Oke?”.
            “Hmm...oke...”, aku setuju dengan alasan itu.
            “Tapi bagaimana dengan teman-temanku..aku harus bilang apa? Tidak akan ada yang percaya kalau aku bilang bertemu dengan iblis penghisap darah dan diselamatkan oleh demon cowok yang ternyata adalah pacarku dimasa lalu. Mereka pasti mengejekku habis-habisan”, kataku lesu.
            “Kau terlalu banyak berpikir”, kata Kame sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Tenang....bila itu yang kau mau akan kubuat diriku hanya bisa terlihat olehmu. Bersikaplah seperti biasa didepan teman-temanmu dan jangan kau ceritakan tentang gadis dalam lukisan itu. Semua pasti beres”, Kame mengedipkan mata kirinya.
            Kame berbalik, berjalan mendahuluiku menuju asrama sambil berkata,”Ah iya...satu lagi..mulai sekarang kau harus bersiap-siap”.
            “Bersiap-siap apa?”, teriakku.
            “Sekarang, setelah segelku terbuka para demon yang mengincar kekuatanku akan kembali menyerangku. Untuk mengalahkanku mereka pasti akan mengincar kelemahanku, yaitu kamu Jin. Jadi bersiap-siaplah. Tapi aku yakin kau bukan cowok yang lemah, mereka tidak bisa dengan mudah mengalahkanmu. Hah....leganya....”, Kame tersenyum sambil terus berlalu meninggalkanku.
            Bengong....
            “Apa!”, teriakku.
            “Hei...tunggu dulu....Kame!! Apa maksudmu dengan serangan demon? Berarti masih banyak demon yang akan datang menyerang? Kame.....! Jangan tinggalkan aku...”, aku berlari mengejar Kame menuju asrama.
            Aku cemas.
            Tampaknya mulai sekarang aku harus mengucapkan selamat tinggal pada kehidupanku yang tenang.
            Serangan para demon, tampak seperti suatu pikiran yang aneh dikepalaku.
            Biarlah..apapun yang terjadi akan kuhadapi..
”Yosh..para demon, datanglah kalau berani. Aku bukan Yuki yang dulu. Sekarang aku Jin Akanishi. Akan kuhadapi kalian semua dan membuat kalian menyesal telah mengenalku”, apapun yang terjadi_selama ada Kame disisiku, aku akan bertahan.

-end-

yakusoku (promise..) part 9

9.  Bloody night
           
            Aku memberanikan diri melewati lorong yang sempit dan gelap. Tergesa-gesa_berusaha tetap waspada, melihat kekiri dan kekanan_sesekali menoleh kebelakang. Keringat dingin mengucur deras ditubuhku. Jantungku berdetak semakin kencang_berpacu dengan suara nafasku.
            Kupercepat langkah kakiku_suaranya bergema disepanjang lorong.
            Udara dingin semakin berhembus_membuat tengkukku bergidik.
            Aku terus mengumpat dalam hati,”Sial...aku benci lorong ini”.
            Sesekali aku melihat kearah lukisan-lukisan yang terpampang didinding lorong. Lukisan yang aneh. Bingkai-bingkainya mulai kusam. Membuatku semakin merinding. Seolah-olah mata dalam lukisan-lukisan itu sedang menatapku tajam, menyindirku yang ketakutan.
            Langkahku terhenti disudut lorong, melihat satu lukisan yang aneh. Aku yakin seharusnya itu adalah lukisan seorang gadis berambut perak yang sedang memegang bunga mawar. Aku sering melihat lukisan itu disiang hari saat melewati lorong ini bersama Junnosuke dan Nakamaru. Mataku tidak mungkin salah. Kugosok kedua mataku_tidak percaya kutatap lukisan itu sekali lagi.
Lukisan itu tetap kosong.
Aku terdiam_mematung. Rasa dingin menjalari tubuhku. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Jantungku berdebar semakin kencang_ingin melompat keluar dari rongga dadaku.
            “Tidak mungkin.....”, bisikku lirih_tidak percaya.
            Dalam hitungan detik, sesuatu mencengkeram punggungku dari belakang. Tangan-tangannya yang kurus dan dingin mendekapku erat-erat. Aku meronta-ronta. Kuberanikan diri menoleh kebelakang. Disanalah gadis dalam lukisan itu berada. Dibelakangku, mencengkeramku, menangkapku.
            Semua usahaku sia-sia, gadis itu tidak bergeming. Kokoh seperti batu. Tangannya yang kurus semakin kuat mencengkeramku. Punggungku terasa sakit. Nafasnya yang dingin menderu_berhembus ditengkukku.
            Tangannya menyentuh leherku. Aku bisa merasakan kukunya yang tajam mengoyak kulitku. Perih_sakit. Darahku mulai mengalir. Dengus nafasnya semakin menderu ditelingaku. Menghirup aroma darahku. Lidahnya yang dingin dan kasar menjilat leherku lalu mengerang_puas. Sepasang taring yang tajam semakin berkilauan. Sekuat tenaga ditancapkannya taring itu menghujam leherku.
            Aku menjerit kesakitan. Lemas_semua tenagaku hilang begitu saja begitu taringnya menembus dan mengoyak leherku. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku_kaku.
            Gadis itu melepaskan cengkeramannya. Aku masih tetap terdiam mematung. Betapun aku berusaha menggerakkan tubuhku, aku tidak bisa. Aku merasa frustasi. Inikah akhir dari hidupku. Badanku mulai terkulai lemas. Mataku menatap kosong_hampa.
            Terlintas semua kenangan dalam benakku. Kenanganku bersama Mom dan Dad. Teman-temanku. Sekolahku. Kehidupanku. Mimpi-mimpiku. Kame...
            Aku terkejut sendiri. Kenapa disaat kritis seperti ini aku malah membayangkan dan memikirkan Kame. Apa hubungannya denganku. Setahuku dia kan mencintai Yuki, gadis dalam mimpiku.
            Kurasakan gadis itu menghisap darahku dengan rakus. Menghisap seluruh jiwaku keluar dari tubuhku. Gadis itu berada didepaanku. Tangan kanannya memegang wajahku, tangan kirinya memelukku erat.
            Pikiranku semakin melayang-layang. Membumbung tinggi ke angkasa. Aku menyerah. Aku lelah. Aku pasrah. Sudah cukup_aku tidak mau melawan lagi. Kupejamkan kedua mataku. Membayangkan Junnosuke dan Nakamaru yang cemas sedang menungguku. Mereka berdua teman terbaik dalam hidupku.
            “Maafkan aku Junno......Maru”, suaraku lirih berbaur dengan suara hembusan angin malam.
            Saat aku sudah menyerah_samar-samar kudengar sebuah suara. Suara yang terasa akrab ditelingaku. Suara yang entah kenapa sangat kurindukan sampai aku menitikkan air mata saat mendengarnya
            “Yuki........”, suara itu memanggil-manggil Yuki.
            “Yuki.....jangan menyerah.......”, semakin keras terdengar ditelingaku.
            “Yuki.....panggil namaku!”, perintah suara itu.
            Ya...aku mengenal suara ini. Suara yang selalu ada di mimpi-mimpiku. Suara yang aku harap muncul didalam mimpiku. Suara yang lembut dan indah. Suara yang memabukkanku bagaikan candu. Suara milik pemuda dalam mimpiku. Suara milik Kame...
            Apakah aku sedang bermimpi atau aku sudah mati. Kenapa aku mendengar suara Kame. Dimana aku. Aku bingung_linglung. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi lalu tersentak kaget.
            Sekarang aku ingat.
            Gadis dalam lukisan itu menyerangku dan menghisap darahku.
            Tiba-tiba rasa sakit itu menyeruak lagi dari dalam diriku. Aku tersadar_mendengar suara rakus gadis itu menghisap darahku. Kuku-kukunya yang tajam menancap dipunggungku. Kulit wajahnya yang dingin menempel dipipiku.
            Spontan aku memanggil sebuah nama, lirih. Tapi telingaku dapat mendengar jelas setiap huruf namanya kusebut. “Kame.......”.
            “Kame....”, panggilku lagi dengan suara yang lebih keras.
            “Kame....!!”, teriakku lantang. Suaraku membahana disepanjang lorong. Menimbulkan gema, mengulang-ulang nama Kame.
            Gadis itu tetap mengacuhkanku, memilih sibuk meneruskan menghisap darahku_yakin tidak akan ada yang datang menolongku.
            “Bodoh kau Jin!”, umpatku dalam hati.
            “Dia cuma ada dalam mimpi”, betakku sendiri.
            “Dia tidak nyata”, kata suara dalam otakku.
            “Kame......”, sekali lagi aku memanggil namanya dengan lemah_tidak mau berharap lagi.
            Mataku panas. Air mataku mulai menetes membasahi wajahku. Aku menggigil kedinginan.
            Samar-samar cincin ditanganku mulai berpendar memancarkan cahaya putih. Lemah pada awalnya dan akhirnya bersinar semakin kuat. Menyilaukan mata.
            Gadis itu terkejut_menjerit keras. Buru-buru melepaskan taringnya yang menancap dileherku. Dengan kasar mendorongku_menyebabkanku jatuh terjerembab dilantai yang dingin. Cepat-cepat melindungi kedua matanya dari cahaya yang menyilaukan itu. Bersembunyi dibelakang pilar. Sorot matanya terlihat marah.
            Cahaya putih itu semakin lama semakin memudar. Aku menggosok kedua mataku, menghapus air mataku_berusaha melihat apa yang sedang terjadi. Tangan kananku menyentuh leherku yang terluka. Aku bisa merasakan darahku yang lengket membasahi jari-jari tanganku. Kutekan luka dileherku_berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakitnya. Menghentikan pendarahan.
            Aku mencoba untuk melihat luka ditubuhku. Aku memalingkan wajahku sesaat. Tiba-tiba seorang pemuda duduk berlutut dihadapanku. Pakaiannya serba hitam. Kancing bagian atas kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih pucat. Rambut hitamnya menutupi wajahnya. Dengan gerakan yang anggun disibakkan rambutnya memperlihatkan wajahnya yang tampan_sempurna.
            Terpesona_aku terdiam. Jantungku berdebar kencang. Perutku terasa aneh. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan didalamnya.
            Aku ingat wajah itu. Wajah orang yang tanpa alasan aku sangat merindukannya. Wajah yang selalu ingin kutemui didalam mimpiku.
“Kame...”, kusebut namanya.
Kame tersenyum lembut padaku. Tangannya yang dingin membelai kepalaku, seolah-olah berusaha menenangkanku. Menyentuh luka dileherku dengan tatapan sedih.
Telapak tangannya mengeluarkan cahaya yang terasa hangat dikulitku. Sakit yang kurasakan perlahan-lahan menghilang bersamaan dengan menutupnya lukaku. Hilang tak berbekas.
Kame memelukku erat.
Aku bisa mencium aroma nafasnya yang wangi. Wajahku memerah. Dalam tubuhku menjalar rasa hangat. Jantungku berlomba-lomba ingin melompat keluar, berdetak semakin keras.
Kame mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, “Yuki....aku datang”. Kemudian mengecup keningku. Bangkit, berdiri menatap kearah gadis dalam lukisan.
Gadis itu masih bersembunyi dibalik pilar, mendengus kesal. Masih merasa terganggu oleh kedatangan Kame.
“Keluar kau!”, tantang Kame.
“Beraninya kau menyakiti Yuki ku”, bentak Kame.
“Akan ku balas setiap luka yang diderita Yuki”, Kame mengacungkan telunjuknya ke arah sang gadis.
Gadis itu menyeringai, menunjukkan kedua taringnya. Perlahan-lahan bangkit, keluar dari balik bayangan pilar. Gaun putihnya ternoda merah_merah dari darahku. Rambut pirangnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Mata merahnya menatap tajam kearah Kame. Kedua kakinya yang mungil berjingkat melangkah mendekat. Diperlihatkannya kuku-kukunya yang tajam berwarna merah terkena darahku.
Mengejek Kame, gadis itu menjulurkan lidahnya yang panjang. Menjilati darah dikukunya. Memejamkan mata, menikmati setiap tetes darah yang masuk dimulutnya.
Melihatnya membuatku mual. Mengingatkanku rasa sakit saat digigit dan dihisap darahku. Spontan aku meraba leherku. Karena Kame, luka itu sudah hilang tak berbekas.
“Cih......setan sialan!”, Kame merasa kesal.
“Hi...hi....hi....”, tawa gadis itu, semakin mengejek.
“Berani-beraninya kau mengganggu acara makanku”, teriak gadis itu dengan suara tinggi.
Gadis itu mengacungkan kedua tangannya. Menunjukkan kuku-kukunya yang tajam dan semakin memanjang. Bola matanya membesar. Telinganya meruncing. Mulutnya menyerigai aneh. Berteriak keras, berlari kearah Kame. Bermaksud untuk menyerangnya tanpa ampun.
Kame tersenyum tenang menghadapinya.
Aku panik, takut. Mengkhawatirkan Kame.
Kame mengangkat tangan kirinya keatas, melindungi wajahnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pedang yang aku sendiri tidak tahu darimana datangnya.
Ditebaskannya pedang itu kearah sang gadis. Gerakannya sangat cepat, aku sendiri kesulitan untuk melihatnya.
Gadis itu berhenti berlari. Terdiam, melongo sesaat untuk menyadari kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing telah patah terkena tebasan. Gaunnya terkoyak dibeberapa bagian. Helaian rambut perak beterbangan disekitarnya.
“Aaaaaaaaaargh......!”, gadis itu berteriak kesal mengambil ancang-ancang untuk menyerang lagi. Raut wajahnya terlihat bengis.
Kame mengibaskan tangannya_menantang. Mengangkat pedangnya. Bersiap-siap menyambut serangan lawan.
Melompat, gadis itu menyerang Kame dari atas. Kuku-kukunya dihujamkan kearah kepala Kame.
Dengan sigap Kame menepis dan menghindar. Mengayunkan pedangnya_melukai sang gadis, memotong kedua tangannya.
Terjatuh dan tersungkur dilantai. Gadis itu mengerang kesakitan. Menatap tajam kearah Kame. Darah mengalir dari luka potong ditangannya. Potongan tangannya mengelepar-gelepar dilantai.
Pemandangan yang sangat mengerikan. Aku bergidik melihatnya. Memaksa kedua mataku untuk tetap melihat_berusaha tidak berpaling.
Kame menatap dingin. Melangkah mendekati sang gadis. Mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Ini balasannya karena telah melukai Yuki ku!”, menghunuskan pedangnya menusuk jatung sang gadis. Mengoyak tubuhnya.
Mengerang kesakitan, jeritan gadis itu memekakkan telinga. Urat nadinya yang berwarna merah keunguan terlihat berkedut-kedut dibalik kulit putihnya yang tipis seperti kulit bawang. Dibeberapa bagian tubuhnya terlihat tonjolan-tonjolan kecil, semakin lama semakin membengkak dan terus membesar_menarik kulitnya.
Gadis itu terus berteriak dan mengumpat.
Dalam hitungan detik_tonjolan-tonjolan urat dibawah kulitnya satu persatu mulai pecah. Darah merah memercik kedinding dibelakangnya, ke lantai disekitarnya.
Terengah-engah, berjuang untuk bernafas. Matanya semakin melotot keluar. Darah terus mengalir keluar dari dalam tubuhnya. Badannya bergetar_kejang-kejang. Mati kehabisan darah.
Tubuhnya yang mungil terlentang dilantai_diam tak bernyawa.
Ujung kakinya mulai bersinar, terus merambat sampai keujung kepala. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang tak berbekas. Begitupula dengan noda darah didinding dan dilantai_menghilang. Seakan-akan kejadian tadi tidak pernah ada.
Tubuhku merosot kelantai. Gemetar_tanganku meraba-raba mencari sandaran. Aku berusaha mencerna kejadian tadi. Bertanya-tanya dalam hati apakah ini mimpi atau nyata. Kalau cuma mimpi kenapa terasa begitu nyata. Kalau bukan mimpi kenapa begitu aneh. Akal sehatku tidak bisa menerimanya.
Kutarik nafasku dalam-dalam sampai rongga dadaku terasa penuh sesak oleh udara, perlahan-lahan kuhembuskan sambil menenangkan diriku sendiri. Berpikir apa yang akan kukatakan pada Nakamaru dan Junnosuke. Pasti mereka tidak akan percaya. Aku yakin itu.

yakusoku (promise..) part 8


8.  Sang gadis

            Gadis dalam lukisan itu tersenyum aneh. Rambut peraknya berkilau terkena cahaya bulan. Tangan-tangan kurusnya meraba-raba bingkai lukisan. Kepalanya ditolehkan kekiri dan kekanan. Bola matanya yang hijau berubah menjadi merah_semerah darah. Jari-jari tangannya yang kurus dan pucat mencengkeram bingkai lukisan. Dia mencondongkan tubuhnya kebelakang. Mengambil ancang-ancang_mendorong seluruh tubuhnya sekuat tenaga keluar dari dalam bingkai. Mengangkat kaki kirinya melewati bingkai disusul dengan kaki kanannya. Melompat dengan lincah_mendarat sempurna di lantai lorong.
            Pelan-pelan, jemari tangannya merapikan gaunnya yang kusut sambil menyerigai memperlihatkan sepasang taring yang berkilau memantulkan cahaya bulan. Rambut panjangnya berantakan_menutup wajah cantiknya.
            Didongakkan kepalanya keatas, menatap sang bulan sambil menyerigai aneh.
            “Hi...hi...hi....darah”, tawa gadis itu. Suaranya sangat lembut dan merdu. Bagaikan sebuah symphoni yang indah. Memabukkan setiap orang yang mendengarnya.
            “Aku mau darah........!”, gadis itu menjilat bibir merahnya yang tipis_melirik kekiri dan kekanan. Menolehkan kepalanya_melihat kesekelilingnya. Mencari mangsa.
            Terhuyung-huyung dan sedikit melayang gadis itu berjalan kebalik pilar. Bersembunyi dikegelapan malam. Mata merahnya menatap tajam, menunggu korbannya dalam diam.
            Dikejauhan terlihat sesosok pemuda berjalan tergesa-gesa memasuki lorong. Waspada_melihat kekiri dan kekanan, sesekali menoleh kebelakangnya.
            Tak sabar gadis itu menanti mangsanya. Kuku tangannya yang tajam mencengkeram erat-erat pilar penyangga. Air liurnya mulai menetes_membayangkan manisnya aroma darah.
“Ayo.....cepat....cepat...”, gumamnya dalam hati.
            “Yah...betul....anak manis....kemarilah.....”, semakin tidak sabar.
            “Sedikit lagi......”, sambil tersenyum licik_bola mata merahnya bersinar.
            Pemuda itu berdiri beberapa meter didepannya. Terdiam menatap heran kearah lukisan yang kosong.
            Secepat kilat, tangan-tangannya yang panjang dan kurus mencengkeram punggung pemuda itu dari belakang. Sekuat tenaga mendekap pemuda itu erat-erat.
Tangan kirinya terus mendekap erat. Tangan kanannya terasa dingin dikulit leher pemuda itu. Kukunya yang tajam segera menggores kulit si pemuda_menyebabkan luka yang cukup dalam. Darah merah mulai mengalir_kontras dengan warna kulit si pemuda yang putih.
Gadis itu mendekatkan wajahnya keleher sipemuda. Mencium aroma darah yang membangkitkan nafsunya, dijulurkannya lidahnya_menjilati darah yang manis dan tersenyum puas.