Selasa, 28 Juni 2011

yakusoku (promise..) part 2


2.   Momento

            Aku bangkit dari ranjangku. Seluruh badanku kaku_pegal-pegal. Dengan malas kuseret langkahku menuju kamar mandi.
            Kubasuh wajahku...Dinginnya air menyengat kulitku. Kulihat bayangan wajahku dicermin. Aku terlihat pucat sekali. Rambutku terlihat kusut. Mataku merah_kurang tidur. Dibawah mataku ada bayangan hitam keunguan, tanda kelelahan.
            Aku benar-benar kacau dan menyedihkan.
            Aku berusaha menyembunyikan cekungan hitam dibawah mataku. Kukompres mataku dengan handuk dan air dingin, berharap dapat menyamarkan noda hitam itu.
            “Huh...percuma...!” umpatku, aku menyerah... Kuhempaskan handukku yang basah ke cermin. Dinginnya air memercik kewajahku.
            Kutatap cermin didepanku, aku malah terlihat semakin pucat. Aku pasrah...
            Aku harus berpikir apa yang nanti akan kukatakan pada Junno...
            Junno adalah temanku di sekolah. Aku dan Junno sudah berteman sejak pertama kali masuk SMA. Tentu saja Junno juga akrab dengan Maru. Menurutku Junnosuke malah lebih dekat dengan Nakamaru dari pada dengan ku. Aku yakin pasti hari ini Nakamaru akan menceritakan semuanya pada Junno dan bisa dipastikan_aku yakin 100% akan hal ini, Junnosuke seharian akan mengikutiku dan menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan. Apalagi melihat keadaanku yang kacau seperti ini, pasti akan memberikan alasan pada Junnosuke untuk meminta penjelasan sedetail-detailnya padaku.
            Berbeda dengan Junnosuke, aku dan Nakamaru sudah berteman sejak kecil. Dulu rumah kami bersebelahan. Kurasa kita sudah saling mengenal sejak kita berdua masih memakai pampers dan minum susu dari botol. Selain sebagai sahabat sejatiku, aku juga menganggap Nakamaru sebagai saudaraku sendiri. Kita berdua seperti tidak terpisahkan. Dimana ada aku selalu ada Maru_kita berdua sepaket. Sekarang dengan adanya Junnosuke, kita bertiga tidak terpisahkan. “One for all, all for one’’, itu yang sering Junnosuke katakan untuk memberikan semangat bila salah satu dari kita sedang sedih.
            Kupandangi diriku lagi dicermin. Kuraba rambutku yang berantakan. Kuraba wajahku_aku dapat merasakan kulitku yang dingin dan rapuh diujung jari-jari tanganku. Lembut dan hati-hati kuraba kelopak mataku, pipiku, hidungku dan bibirku, seolah-olah semuanya rapuh dan satu persatu akan lepas dari wajahku jika aku tidak menyentuhnya dengan lembut dan hati-hati.
            Sekarang umurku hampir 18 tahun...Kurasa aku sudah banyak berubah...
            Lalu kuraba cincin pemberian Dad yang melingkar di jari manis tangan kananku. Licin...dan dingin terasa diujung jari tanganku. Sudah hampir tiga tahun aku memakainya dan aku tak pernah melepaskannya dari jariku. Kupandangi cincin itu...Bentuknya belum berubah, kilauannya pun masih tetap sama, bahkan kurasa sekarang kilauan cincin itu lebih cemerlang dari pada biasanya.
            Kuhela nafasku dalam-dalam__kubasuh mukaku sekali lagi.
            Aku teringat masa laluku. Yah_walaupun sebenarnya ada beberapa bagian dari masa laluku yang kurang menyenangkan dan aku berusaha keras untuk melupakannya. Tapi kenangan itu tiba-tiba masuk tanpa permisi menembus setiap inchi sel-sel otakku tanpa bisa kutepis, kuhindari.
            Namaku Akanishi Jin, teman-temanku di sekolah memanggilku Jin. Dulu aku tinggal disebuah kota kecil disebelah Forkstown_tempat asramaku sekarang berada. Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan ayahku bekerja sebagai pemburu barang-barang seni dan antik. Barang-barang hasil temuan Dad biasanya akan dijual ke para pecinta barang antik ataupun diserahkan ke museum. Karena pekerjaannya ini Dad sering berpergian ke luar kota bahkan juga ke luar negeri.
            Masa kecilku__sebenarnya bisa dikatakan bahagia. Mom, Dad dan aku...kami saling mencintai dan saling memiliki. Sesibuk apapun Dad, dia selalu meluangkan sedikit waktunya untuk Mom dan aku. Aku masih ingat ketika Dad mengajakku ke taman, Dad membelikan ice cream coklat kesukaanku. Kemudian kami berjalan sambil bergandengan tangan. Aku bisa melihat senyum bahagia terukir diwajah Dad. Sementara Mom selalu ada untukku. Apapun yang kuinginkan selalu diturutinya_kata Dad, Mom terlalu memanjakannku. Mom selalu menghiburku disaat aku sedih. Mom adalah penyemangat jiwaku.
            Aku bisa melihat Dad sangat mencintai Mom dari cara bicara Dad pada Mom, dari cara Dad memandang Mom. Dad tak pernah berbicara dengan nada suara yang tinggi pada Mom, walaupun pada saat itu Dad sedang marah. Aku yakin Dad tak dapat hidup tanpa Mom. Begitu pula sebaliknya.
Terlintas dibenakku_wajah Mom yang cantik, sorot matanya yang teduh, dan rambut panjangnya yang indah. Belum hilang dari ingatanku bau harum tubuh Mom saat memelukku dengan hangat. Mendekapku kuat-kuat seakan takut akan kehilanganku.
Dad selalu tersenyum dan menatap kami dengan penuh cinta. Dad selalu bilang kalau kami berdua adalah para malaikatnya.
Kata Dad, aku mirip sekali dengan Mom. Kulitku yang putih_yang menurutku malah terlalu pucat, mataku dan rambutku yang hitam terlihat kontras dengan warna kulitku. Diantara itu semua, caraku tersenyumlah yang membuatku sangat mirip Mom.
Sambil memelukku dipangkuannya, Dad pernah berkata bangga memilikiku sebagai putranya dan takkan pernah meninggalkanku, apa pun yang terjadi.
Sayang...semuanya terasa sangat singkat...saat umurku tiga belas tahun, Mom meninggal karena kecelakaan. Saat itu Mom sedang menyeberang perempatan jalan menuju Hy-Mart, secara tiba-tiba dari sebelah utara perempatan sebuah bus melaju dengan kencang melanggar lampu merah menuju kearah Mom. Mom tak mampu menghindar__bus itu menabrak Mom, menyeretnya dan menghempaskan tubuhnya sejauh dua meter. Sekujur tubuh Mom merah bersimbah darah. Tangan, kaki, dan punggung Mom retak dan patah dibeberapa bagian. Mom mengalami gegar otak. Mom langsung menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Aku masih ingat dengan jelas...Dad menjemputku di sekolah. Wajahnya sangat sedih...mata Dad berkaca-kaca, menahan air mata. Dad memegang erat tanganku. Aku kebingungan melihat ekspresi wajah Dad yang tidak seperti biasanya. Aku tahu sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Lalu Dad berlutut didepanku...ditatapnya mataku dalam-dalam, dengan suara tercekat_menahan emosi, perlahan-lahan Dad berkata padaku Mom telah pergi untuk selamanya. Aku terkejut...tidak percaya dengan apa yang baru saja Dad katakan. Aku histeris...menangis sekeras-kerasnya. Dad mendekapku dipelukannya, berusaha menenangkanku.
Setelah pemakaman Mom__berhari-hari Dad mengurung diri di ruang kerjanya. Berusaha menyibukkan diri untuk melupakan kesedihannya. Tatapan mata Dad terlihat kosong dan hampa. Saat itu Dad terlihat seperti mayat hidup.
Dad mulai menghindariku, kami semakin jarang berbicara. Kami seperti orang asing yang tinggal serumah, hubungan kami pun jadi semakin menjauh.
Padahal aku berharap Dad mau berbicara padaku...Aku rindu ngobrol dengannya...walaupun cuma sekali saja...Bukan cuma Dad yang merasa kehilangan Mom__aku juga. Aku juga sedih dan hancur, sama seperti yang Dad rasakan. Tapi...tidak ada seorang pun yang peduli dengan apa yang kurasakan, apalagi Dad...
Cuma Nakamaru yang selalu datang menghiburku dan menyemangatiku saat aku terpuruk.
Aku rindu Dad...aku rindu melihat senyumannya...
Air mata mulai membasahi wajahku. Kuusap pipiku dengan kedua tanganku.
Sedih__sekaligus kecewa dengan sikap Dad pada waktu itu. Padahal aku benar-benar berharap Dad mau berbagi kesedihannya denganku, bukankah aku putranya...aku berharap kita berdua bisa saling mendukung, saling menyembuhkan luka karena kehilangan Mom, saling menghibur dan saling menyemangati untuk bangkit menjalani hidup ini. Diantara itu semua... aku berharap Dad mau berusaha memperbaiki hubungan kami...
Harapanku tidak pernah terwujud... Dad malah mulai sering meninggalkanku. Dad lebih memilih pekerjaannya dan pergi berburu barang antik dari pada bersamaku.
Hampir setiap malam aku menangis dalam tidurku. Aku merasa dibuang dan dicampakkan oleh ayahku sendiri_orang yang seharusnya selalu menjaga dan melindungiku serta melimpahiku dengan kasih sayangnya.
Aku beruntung memiliki Nakamaru. Dia sering mengajakku menginap di rumahnya. Menemaniku disaat aku jatuh dan terluka, menghiburku, menyemangatiku, mengajariku untuk selalu berpikir positif. Dia benar-benar sahabat sejatiku.
Perlahan-lahan aku mulai membenci Dad yang selalu mengabaikanku.
Nakamaru selalu mengatakan padaku_aku tidak boleh membenci ayahku sendiri, karena dia adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa.
Aku jadi terbiasa hidup tanpa Dad.  Aku berusaha hidup mandiri dan tidak tergantung pada Dad.
Untuk mendapatkan tambahan uang saku, sepulang sekolah aku bekerja part-time sebagai pramusaji disebuah kedai makanan didekat rumahku. Nilai-nilaiku selalu diatas nilai rata-rata, aku selalu belajar dengan rajin. Seminggu tiga kali aku belajar bersama di rumah Nakamaru. Impianku adalah melanjutkan study ku di sekolah elite di St Angel High School, oleh karena itu aku berusaha mati-matian mengajukan beasiswa untuk bersekolah disana.
Jujur...kuakui...sebenarnya aku ingin sekolah disana karena sekolah itu memiliki asrama, aku ingin pergi jauh dari rumah...jauh meninggalkan Dad dan tak akan pernah kembali lagi. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin memulai dari awal lagi__hidupku yang baru.
Saat ayahku mengetahuinya, Dad pada awalnya menentang habis-habisan ideku ini_tapi pada akhirnya menyerah setelah aku memaksanya dengan mengacuhkan dirinya, berpura-pura menganggapnya tidak ada dan tidak mau berbicara padanya selama berhari-hari.
Kurasa waktu itu aku egois dan kekanak-kanakan.
Beberapa minggu sebelum kepergianku, sikap Dad mulai berubah. Aku yakin Dad mulai sadar sebentar lagi dia akan kehilangan aku untuk selamanya. Dad mulai jarang berpergian meninggalkanku, berusaha mengajakku ngobrol, memasak makanan untukku_menunjukkan perhatiannya padaku. Yah... walaupun kurasa semua itu sudah agak terlambat, Dad berusaha memperbaiki hubungan kita yang sempat terputus.
Dihari kepindahanku, Dad bersikeras mengantarkanku ke asrama. Dad terlihat sangat mengkhawatirkanku dan sedih berpisah denganku. Dad terlihat sedikit lega saat mengetahui Nakamaru menjadi teman sekamarku di asrama, tapi hal ini belum bisa menghilangkan kecemasan yang terukir jelas di wajahnya.
Dengan diam, Dad memasukkan barang-barangku ke kamar dan kemudian merapikannya untukku.
Saatnya untuk berpisah...
Dad menatap mataku dalam-dalam_penuh kasih sayang. Digenggamnya kedua tanganku dengan erat. Dad berusaha menahan emosinya. Dengan enggan kubalas tatapannya, Dad menarik tanganku dengan keras sampai aku jatuh kedalam pelukannya. Dad mendekapku_dengan lembut di telingaku Dad mengatakan penyesalannya karena telah meninggalkanku dan mengabaikanku, betapa selama ini sebenarnya Dad selalu mencintaiku. Mataku mulai berkaca-kaca, aku berusaha menahan air mata itu keluar menggenangi kedua mataku_momen seperti inilah yang selama ini selalu kutunggu dan kunantikan. Seketika itu juga semua rasa benci, kecewa dan marahku pada Dad hilang tak berbekas, seolah-olah luka itu memang tak pernah ada.
Dengan lembut kutepuk-tepuk punggung Dad, kulepaskan diriku dari pelukannya, kupandangi wajahnya yang sedih. Tampak guratan-guratan halus diwajahnya, uban mulai memenuhi rambutnya, matanya terlihat letih. Dad terlihat sangat tua, badannya kurus dan tidak tegap lagi seperti dulu. Ketampanan dimasa mudanya telah memudar.
Kukecup pipi kanan Dad, ditelinganya kubisikkan kata aku mencintainya dan sudah memaafkannya.
Dad langsung memelukku dan mulai menangis dibahuku.
Setelah puas menangis dan menghapus air mata diwajahnya, Dad berjanji akan sering mengunjungiku diakhir pekan.
Diraihnya tangan kananku, dengan hati-hati disematkannya sebuah cincin ke jari manisku. Dengan takjub kupandangi cincin di jariku.
Cincin itu terlihat sangat tua, terbuat dari perak, terdapat ukiran aneh disekelilingnya, cahaya yang terpancar dari kilauannya saat terkena cahaya sangatlah indah. Aku langsung menyukainya sesaat setelah melihatnya. Cincin ini seperti dibuat memang untukku, terlihat sangat pas di jari manisku.
Sambil mengelus-elus kepalaku dengan penuh kasih sayang, Dad mengatakan padaku cincin ini dapat melindungiku. Saat mengucapkannya Dad terlihat sangat serius.
Pada saat itu aku tidak mengerti dengan apa yang Dad katakan padaku.
Dad tersenyum padaku, dengan berat hati diucapkannya kata perpisahan. Dikecupnya keningku dengan lembut, lalu pergi meninggalkanku. Pertahananku mulai runtuh. Aku bersimpuh dan mulai menangis. Aku sedih sekaligus bahagia, bahagia karena telah mendapatkan ayahku kembali tapi juga sedih karena harus berpisah dengan ayahku disaat yang bersamaan.
Setahun setelah itu, Dad meninggal. Serangan jantung kata dokter yang menemuiku. Kejadiannya terasa cepat sekali. Setelah berakhir pekan denganku, Dad mengeluh kepalanya pusing dan sesak nafas. Badannya basah karena keringat dingin. Dadanya terasa sakit sekali, seperti ada yang menekan dan meremas-remas jantungnya. Karena panik aku langsung membawa Dad ke rumah sakit terdekat. Sayang...Dad sudah tak tertolong lagi. Dad menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Hidupku terasa hancur berkeping-keping. Saat lukaku karena kehilangan Mom mulai terobati kini luka itu tergores lebih dalam lagi karena aku harus kehilangan Dad.
Kutekan dadaku dengan kedua tanganku. Menahan rasa sakit yang yang menyeruak didadaku. Luka itu kembali terbuka...
Gemetar_kuambil segelas air. Kuminum perlahan-lahan...Dinginnya air membasuh tenggorokanku yang terasa kering.
Kucoba menenangkan diriku. Kuhirup nafas dalam-dalam, kubiarkan udara masuk memenuhi rongga dadaku, kutahan sejenak, kemudian kuhembuskan pelan-pelan melalui mulutku.
Setelah merasa sedikit tenang, kusisir rambutku yang tanggung dan kusut, kuikat jadi satu diatas tengkukku, terburu-buru kusikat gigiku sampai gusiku terasa sakit. Kupakai seragam sekolahku...
Kupandangi diriku di cermin, memastikan sekali lagi tidak ada yang terlewatkan olehku.
Aku tersenyum lebar__siap menghadapi hari ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar