Selasa, 28 Juni 2011

yakusoku (promise..) part 3


3.   Gadis Dalam Lukisan

            Lorong itu gelap dan sunyi, cahaya lampu yang temaram menyinari lukisan-lukisan yang tergantung disepanjang dindingnya. Jauh menjorok dibagian dalam lorong yang sepi, nampak seorang gadis cantik sedang tersenyum lebar, terkurung di dalam lukisan. Cahaya bulan menari-nari dibingkainya yang keemasan. Rambutnya yang panjang dan bergelombang berkilauan terkena cahaya bulan. Gaunnya yang putih dan panjang menyapu lantai tampak transparan_berkibar-kibar terkena angin malam. Pembuluh nadi merah keunguan hampir tampak dibalik kulitnya yang tipis seperti kulit bawang.Tangan kanannya mendekap dadanya_menggenggam erat setangkai mawar merah, merah... merah darah__semerah bibirnya yang tipis. Wajahnya yang putih mungil bagaikan wajah seorang peri. Gadis itu tampak sempurna dengan cara yang aneh...dengan cara yang menakutkan
            Senyuman gadis dalam lukisan itu tiba-tiba menghilang, digantikan dengan seringai lebar di bibirnya, memperlihatkan sepasang taring tajam yang berkilauan. Bola matanya yang indah berkilauan memperlihatkan ekspresi wajahnya yang kejam. Matanya melirik kekanan dan kekiri lalu menatap lurus ke depan.
Tangan-tangan kecilnya yang kurus dan panjang berusaha merobek dan menembus keluar lukisan. Menggapai bingkai lukisan dan mencengkeramnya kuat. Kepalanya dicondongkan kekiri, lalu didorongnya kuat-kuat keluar dari dalam lukisan. Wajahnya didongakkan ke atas, matanya yang berkilauan menatap sinar rembulan dengan penuh kemenangan. Bertumpu pada kedua tangannya, ditarik badannya keluar melewati bingkai lukisan. Satu persatu dia menginjakkan kaki-kakinya yang kurus dan telanjang ke atas lantai batu yang licin dan dingin. Rambutnya terlihat kusut dan berantakan_tergerai menutupi wajahnya yang menakutkan.
            Kabut semakin tebal di St Angel High School, udara dingin semakin menusuk.
            Tergesa-gesa Mark mengenakan seragamnya, menyisir rambutnya yang masih basah, memakai kaos kaki dan sepatunya, kemudian merapikan celana renang yang basah dan handuknya yang kotor ke dalam tas. Dilihatnya jam yang melingkar ditangan kirinya. Sekarang sudah jam setengah enam sore. Rupanya tadi Mark keasyikan berenang sehingga lupa waktu. Diraihnya jaket berwarna biru dari dalam loker. Setelah selesai mengenakan jaketnya, Mark mengunci lokernya, memasukkan kunci ke dalam tas dan segera bergegas meninggalkan ruang ganti. Gedung olahraga di sore hari mulai terlihat sunyi, sebagian lampunya sudah mulai dipadamkan oleh penjaga sekolah. Mark satu-satunya siswa yang masih berada di dalam gedung.
            Dirinya terlambat...tadi siang dia berjanji untuk bikin pe-er bersama teman-temannya di asrama.
            Mark semakin mempercepat langkahnya menuju pintu keluar. Derap langkah kakinya bergema menggetarkan dinding-dinding gedung olahraga yang sunyi.
            Di luar gedung terlihat beberapa anak berlalu-lalang, ada yang berkumpul bersama teman-temannya, mengobrol dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
            Hari semakin larut, Mark bimbang sejenak memutuskan rute mana yang akan diambil. Dia menimbang-nimbang untuk berjalan memutar melalui asrama guru_walau pun jauh tapi masih banyak orang yang berlalu-lalang melewati rute ini atau mengambil jalan pintas yang lebih cepat dengan melintasi taman yang sepi langsung menuju asrama_tetapi dia harus sedikit berjalan memutar melewati ruang kelasnya terlebih dahulu.
            Melalui asrama guru tentunya memakan waktu yang lebih lama. Sementara Mark sedang terburu-buru.
            Setelah berpikir beberapa saat, diputuskannya berjalan melalui taman yang sepi.
            Malam semakin tebal menyelimuti langit, malu-malu bulan mulai menampakkan cahayanya dibalik kelamnya kabut.
            Jantung Mark berdegup kencang seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya. Bulu-bulu halus dibadannya berdiri tegak. Rasa dingin mulai menjalari badannya, dari ujung kaki menjalar ke seluruh tubuh. Badannya gemetaran, ketakutan setengah mati. Ini pertama kalinya dia berjalan seorang diri melewati taman saat malam telah menjelang.
            Mark setengah berlari__ingin segera sampai.
            Di dalam kegelapan, lampu taman tidak dapat diharapkan, cahayanya terlalu redup. Kabut yang tebal semakin menghalangi pandangannya. Udara yang semakin dingin membuat hembusan nafasnya yang terengah-engah bagaikan sebuah kepulan asap yang keluar dari mulutnya.
            Beberapa menit berjalan dalam ketakutan, akhirnya samar-samar Mark mulai dapat melihat gedung asramanya yang bertingkat. Lampu-lampunya yang terang menari-nari di mata Mark, menyemangatinya untuk terus berjalan.
            Untuk sampai di asrama Elisa harus sedikit berjalan memutar melewati lorong yang sempit di belakang gedung sekolah.
            Gedung sekolah terlihat sepi dan menakutkan...lampu-lampu di ruang kelas telah dipadamkan.
            Dengan waspada Mark berjalan ke belakang gedung sekolah menuju ke sebuah lorong.
            Lorong itu terlihat sempit dan gelap, cahaya lampu temaram menyinari dinding-dindingnya yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan kuno.  Pilar-pilar yang besar menyangga langit-langitnya yang tinggi. Ada hawa jahat yang terpancar di dalamnya.
            Mark berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong. Sesekali Elisa berhenti_ketakutan. Diremas-remasnya jari tangannya yang kedinginan dan gemetaran untuk mengalihkan pikirannya dari rasa takut yang menyergap dirinya.
            Dengan lirih, hampir berbisik_bibirnya berkomat-kamit, berdoa tanpa henti.
            Setelah berjalan beberapa langkah dari ujung lorong, diantara hembusan angin_telinganya menangkap suara tangisan sendu yang lembut dan merdu. Mengalun bagaikan sebuah nyanyian yang memanggil-manggil dirinya. Membujuknya...merayunya...menariknya...untuk datang mendekat.
            Seperti tak sadarkan diri, Mark terus berjalan mendekati sumber suara itu.
            Semakin dekat, dengan tidak sabar Mark semakin mempercepat langkah kakinya.
            Suara itu semakin jelas terdengar bagaikan alunan sebuah symphoni merdu yang membuai Mark, merasuk ke dalam tubuhnya...memabukkannya seperti candu...membawa jiwanya melayang...terbang tinggi...jauh ke angkasa.
            Pemilik suara yang indah itu adalah seorang gadis cantik yang sedang meringkuk seorang diri bersembunyi dalam kegelapan di belakang salah satu pilar penyangga langit-langit, menangis, tergolek lemah__tak berdaya...bagaikan seorang bidadari yang terluka, kehilangan sayapnya.
Gadis itu tidak menyadari kehadiran Mark.
            Dia terus meringkuk, tangannya mendekap erat kedua kakinya yang mungil, kedua lututnya tertekuk menekan dadanya. Rambutnya yang panjang bergelombang berkibar-kibar tertiup angin. Warnanya yang perak memantulkan cahaya rembulan. Kulitnya yang putih mengintip dari balik gaun putihnya yang transparan. Matanya yang hijau terlihat sembab karena menangis terus menerus. Wajahnya yang polos terlihat sedih.
            Mark terpesona, takjub memandangi gadis itu. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. Gadis itu sangat cantik dan mempesona bagaikan bidadari yang turun dari langit.
Mark yakin setiap lelaki yang melihat gadis itu pasti akan langsung tergoda dan jatuh hati pada pesona yang terpancar dari wajahnya....termasuk dirinya yang semakin terpesona setiap kali menatapnya.
Pelan-pelan dihampirinya gadis itu, berusaha untuk tidak mengejutkannya__ditatapnya lembut lalu bertanya, “Siapa namamu?”.
            Gadis itu mengacuhkan Mark dan terus menangis.
            Sambil membelai lembut kepala gadis itu Mark bertanya lagi dengan sabar, “Mengapa kau menangis sendirian?”.
            Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya yang hijau menatap Mark dengan sedih. Isak tangisnya yang sendu semakin menjadi-jadi. Suaranya melengking tajam menyayat hati. Kedua telapak tangannya diangkat menutupi wajahnya yang cantik.
            “Sudahlah...jangan menangis lagi...”, bujuk Mark.
            Tangisan gadis itu mulai mereda.
            “Aku akan menolongmu...”, kata Mark, tangan kanannya menepuk lembut punggung gadis itu_berusaha menenangkan.
             Gadis itu menurunkan kedua telapak tangannya dari wajahnya. Memperlihatkan raut wajahnya yang sedih. Kemudian bergantian mengusap matanya yang sembab dengan punggung tangannya_berusaha menghapus air matanya. Bola matanya sedikit membesar dan jadi berbinar-binar. Bibirnya yang merah menggoda mengerucut.
 Dengan nada tinggi, tidak percaya gadis itu bertanya, “Benarkah...?”. Suara gadis itu sangat merdu seperti sedang bernyanyi.
“Benarkah...kau mau menolongku?”, tanya gadis itu sekali lagi, masih tidak percaya pada Mark.
“Apa pun yang kau inginkan aku akan menolongmu”, jawab Mark tegas.
Gadis itu setengah tersenyum. Alisnya sedikit terangkat, tertarik dengan jawaban Mark. Ada kilauan aneh terpancar dari bola matanya  yang indah.
Seperti anak kecil yang sedang merajuk dia bertanya lagi, suara melengking tinggi,”Benarkah...apa saja...?”.
Mark mengangguk mantap, berusaha meyakinkan gadis itu.
Gadis itu berdiri dengan anggun, diulurkan tangannya yang panjang dan kurus. Senyum manis tersungging di wajahnya yang polos.
“Aku kesepian...”, kata gadis itu setengah berbisik. Suaranya yang selembut sutra membuai masuk ke dalam jiwa Mark, merasuki pikirannya, menghipnotisnya.
“Maukah kau menemaniku?”, gadis itu merengek.
“Sebentar saja...”, bujuk gadis itu dengan nada tinggi.
Tanpa berpikir panjang, Mark mengangguk tanda setuju lalu menyambut uluran tangan gadis itu.
Gadis itu terlihat gembira. Rona merah menghiasi pipinya yang putih pucat.
Tangan Mark menyentuh tangan gadis itu.
Tangannya terasa keras dan dingin seperti menyentuh marmer. Gadis itu merangkul leher Mark dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang satunya menggenggam tangan Mark, menariknya untuk lebih dekat. Sambil tersenyum lebar, dia berbisik dengan lirih di telinga Mark,”Kau memang cowok yang manis...semanis aroma darahmu...”.
Tiba-tiba dalam hitungan detik gadis itu mencengkeram erat-erat tangan Mark. Tangannya yang tampak rapuh_kecil dan kurus kini mencengkeram kuat__sekuat baja, kokoh tak tergoyahkan.
Mark tersentak_kaget dan kesakitan, berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman gadis itu. Semakin Mark berusaha melepaskan diri, cengkeraman gadis itu semakin kuat. Mark berontak, dia menendang keras-keras gadis itu dengan kakinya,melawan sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit, dirinya seperti menendang sebuah batu besar yang keras.
Gadis itu tetap diam tidak bergeming. Mengacuhkan Mark yang terus memberontak berusaha melepaskan diri.
Dengan sekali gerak gadis itu dengan keras memuntir pergelangan tangan Mark, membuat Mark semakin tidak berdaya.
Kesakitan__Mark ingin berteriak tetapi tidak bisa, suaranya hilang, tersangkut ditenggorokannya_yang keluar dari mulutnya hanya suara erangan yang lirih.
Mata gadis itu berkilauan, warnanya yang hijau berubah menjadi merah_semerah darah. Bola matanya membesar. Rambutnya yang panjang terus memanjang, menjerat dan meremukkan tubuh Mark__membuatnya merasa sesak dan lemas. Gadis itu menyeringai kejam. Dibalik seringainya terlihat sepasang taring yang tajam berkilauan terkena cahaya. Air liur menetes dari sudut bibirnya. Wajahnya yang polos berubah menjadi bengis dan menakutkan. Kuku-kukunya yang kecil memanjang dan meruncing__siap untuk menerkam dan memangsa Mark.
            Gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajah Mark, mengendus-endus disetiap inchi wajah Mark. Hembusan nafasnya yang dingin berderu, menerpa wajah Mark.
            Mark dapat mencium jelas aroma nafasnya yang harum, memabukkan. Membuat Mark merasa pusing, berputar-putar, sedikit demi sedikit kehilangan kesadarannya. Matanya mulai terasa berat. Tangan dan kakinya tidak dapat digerakkan. Tubuhnya tidak mau bekerjasama, menolak semua perintahnya untuk tetap bangun dan terjaga. Dirinya pun menyerah, perlahan-lahan kedua matanya mulai terpejam.
            Pelan-pelan dan hati-hati, gadis itu menyibakkan rambut Mark, seakan-akan tangannya yang kuat dapat menghancurkan tubuh Mark yang rapuh. Jari-jari tangannya yang kurus dan dingin meraba leher Mark.
            Mark dapat merasakan kuku-kuku yang setajam pisau menyelusuri setiap inchi kulit lehernya. Siap untuk merobek dan mengoyak kulitnya.
            Sambil memejamkan matanya, gadis itu menghirup dalam-dalam aroma tubuh Mark, kemudian dengan senyum puas berbisik di telinga Mark,”Hmm...harumnya aroma darahmu menggodaku, menari-nari di hidungku”. Lalu tertawa keras. Suaranya melengking, bergema di sepanjang lorong.
            Lidahnya yang basah dan kasar menjilati leher Mark__menikmati lembutnya kulit Mark, kemudian dia menjilati dan membasahi kedua taringnya yang berkilauan_memantulkan cahaya bulan dengan air liurnya yang tidak berhenti menetes di sudut bibirnya.
            Mark merasakan sesuatu yang tajam menembus dan merobek dagingnya. Gadis itu dengan rakus menggigit lehernya, menghisap darahnya. Setitik darah terlihat menetes di sudut bibirnya. Rasa sakit menjalari seluruh tubuh Mark. Badannya mengejang sesaat dan terkulai lemas. Aliran darah di dalam tubuhnya mendidih, membakar semua bagian tubuh yang dialirinya, berkumpul dan menggelembung di rongga dadanya, menekan__meremukkan jantungnya, menyesakkan dadanya.
            Gadis itu tanpa henti terus menghisap darah Mark__menghisap jiwanya keluar dari tubuhnya.
            Mark kesulitan untuk bernafas, seakan-akan semua oksigen disekitarnya habis disedot oleh gadis itu_tidak ada yang tersisa untuknya. Kepalanya mulai terasa berputar-putar, di dalam pikirannya gadis itu menyeringai_memanggil-manggil namanya, terus mengejek dirinya dengan nada penuh kemenangan.
            Gelap_Mark terjatuh dan pingsan. Seperti ada yang menarik paksa jiwanya keluar dari dalam tubuhnya, melayang dan pergi meninggalkan dirinya, sendiri dalam kegelapan tanpa akhir.
            Tubuh Mark terbaring kaku di lantai batu yang licin dan dingin, rambutnya yang kusut tergerai menutupi wajahnya yang pucat, bibirnya membiru, ada bayangan hitam di bawah kelopak matanya yang terpejam, ada tanda bekas gigitan di lehernya.
            Gadis itu dengan mudah mengangkat tubuh Mark. Kedua tangannya menopang tubuh Mark. Perlahan-lahan dia berjalan dengan anggun_tanpa suara, kedua kakinya seperti melayang di atas lantai, menuju ke sebuah lukisan.
            Bingkai lukisan itu berpendar di kegelapan malam, memantulkan cahaya bulan yang menyinarinya. Sementara lukisan di dalamnya terlihat kosong, seperti ada seseorang yang mengambil lukisan itu.
            Gadis itu berhenti beberapa langkah di depannya, membungkuk dan membaringkan Mark yang masih pingsan di lantai, kemudian maju mendekati lukisan itu. Dengan lembut dirabanya bingkai lukisan itu...dalam hitungan detik seberkas cahaya terpancar dari dalam lukisan yang kosong, putih__menyilaukan mata. Gadis itu tersenyum puas, ditunggunya beberapa saat sampai akhirnya cahaya putih itu mulai memudar dan menghilang, meninggalkan lubang yang besar di dalam lukisan.
            Dengan gerakan yang anggun dan cepat dihampirinya Mark, sekali lagi dengan mudah diangkatnya tubuh Mark yang masih terkulai lemas karena kekurangan darah. Hati-hati dibawanya Mark masuk ke dalam lubang besar di dalam lukisan, kedua tangannya mencengkeram erat-erat bingkai lukisan itu. Tubuhnya dicondongkan ke depan. Bertumpu pada kedua tangannya, dia mendorong tubuhnya masuk ke dalam lukisan, kemudian mengangkat kaki kanannya masuk disusul dengan kaki kirinya.
            Setelah semua bagian tubuhnya masuk dengan sempurna, seberkas cahaya yang menyilaukan kembali menyinari lukisan itu. Menyelimuti seluruh lukisan dengan cahaya putihnya yang terang.
            Beberapa detik kemudian, setelah cahaya itu memudar...lubang pada lukisan telah menutup, gadis itu telah kembali menjadi sebuah gambar di dalam lukisan. Berpose dengan anggun dan sempurna. Bola matanya yang merah telah berubah kembali menjadi hijau, seringainya yang kejam berubah menjadi sebuah senyuman yang manis, sepasang taringnya yang tajam menghilang dibalik bibirnya yang merah merona, rambut peraknya yang panjang seolah berkibar tertiup hembusan angin malam, tangan kanannya yang halus menggenggam setangkai mawar merah, semerah warna bibirnya. Raut wajahnya yang polos semakin menambah kecantikannya.
            Lorong itu kembali muram dan sunyi seperti semula. Seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu di sana...
            Di depan pintu asrama, teman-teman Mark tidak sabar menantinya. Setelah berjam-jam menunggu seorang temannya yang gemuk dan berwajah bulat dengan tidak sabar berkata,” Kemana sih anak itu? Aneh...dia kan jarang datang terlambat”. Dia berdiri kemudian menyandarkan punggungnya di dinding sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.
            “Iya..kita sudah berjam-jam menunggu di sini”, kata temannya yang berbadan kecil dan berkulit gelap, ketus. Kaca matanya yang bulat hampir menutupi seluruh wajahnya yang mungil.
            “Mungkin dia masih keasyikan berenang...tadi aku lihat pintu kamarnya masih terkunci, berarti dia belum kembali ke asrama”, temannya yang seorang lagi berbadan kurus dan tinggi, wajahnya tirus, matanya bulat. Dengan gelisah tangan kirinya terus memainkan rambutnya yang agak panjang.
            “Sampai kapan kita harus menunggu di sini?”, cowok yang berkacamata terlihat cemberut, nada bicaranya tinggi dan ketus.
            “Bagaimana kalau kita susul dia ke gedung olah raga?”, cowok yang berwajah bulat memberikan usul.
            Kedua temannya terlihat terkejut tidak percaya apa yang barusan mereka dengar.
            Dengan raut wajah kaget, cowok yang berwajah tirus berbicara dengan nada tidak percaya, seolah-olah itu merupakan usulan yang aneh,”Apa...Kita menyusulnya...Malam-malam begini...?”, tangannya terus memainkan rambutnya, gelisah. “Apa kau sudah gila? Kau sendiri kan tahu, kalau sekolah dimalam hari sangat menakutkan!”, gadis itu berbicara dengan histeris. “Apa pun yang terjadi, di malam hari aku tidak akan pernah mau ke luar dari asrama!”, jerit cowok itu.
            Temannya yang berkaca mata mengangguk setuju. “Sebaiknya kita sekarang tidur saja. Aku sudah mulai ngantuk”, cowok itu menguap lebar, matanya terlihat merah dan berair karena ngantuk, lalu berjalan ke arah tangga menuju ke kamarnya.
            “Tapi...bagaimana dengan Mark?”, tanya cowok yang berwajah bulat ragu-ragu.
            “Kau susul saja sendiri”, jawab temannya yang berwajah tirus, sedikit ketus. “Kalau sudah lelah berenang pasti dia pulang. Aku juga sudah bosan menunggu dia pulang, besok pagi saja kita datangi kamarnya”, cowok itu berjalan meninggalkan temannya, pergi ke kamarnya.
            Ditinggalkan oleh teman-temannya, seorang diri, cowok yang berwajah bulat terlihat bimbang antara pergi menyusul Mark sendirian atau menyusul teman-temannya pergi ke kamar.  Setelah berpikir sejenak, cowok itu memutuskan untuk tidur, kemudian berlari menyusul kedua temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar